SURABAYA – MARITIM : Mengacu pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), terbukti saat ini masih terdapat sekitar 3.000 unit kapal penangkap ikan yang sudah habis masa izinnya. Namun, ribuan kapal tersebut tetap melaut dengan cara bergantian menggunakansurat izin untuk menangkap ikan, yang mereka ‘kloning’ dari kapal yang lain. M. Zulfikar Mochtar, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjelaskan modus kapal penangkap ikan yang melakukan pelanggaran itu memiliki model dan corak warna dari pelaku usaha yang sama.
Ungkap Dirjen Perikanan Tangkap KKP Senin lalu: “Terdapat sekira 3.000 kapal yang sampai saat ini izinnya sudah habis, dan sejak 6 bulan sampai 3 tahun lebih, mereka ternyata belum mengajukan perpanjangan ke kami. Mereka yang belum mengajukan perpanjangan izin ke kami, tetapi ternyata mayoritas masih melaut”.
Lebih jauh, Zulficar menerangkan kapal penangkap ikan harus memperpanjang izin mereka, sebelum tiga bulan habis masa berlakunya izin. Namun kapal pengkap ikan yang dinilai nakal sengaja memperlambat proses pembaruan perizinan mereka. Imbuhnya: “Takutnya, ketika 3.000 kapal ini melaut dan karena oleh satu dan lain hal mereka tertangkap, mereka akan berklah ngaku bahwa KKP lambat dalam menyelesakan proses perizinan. Berdasar alasan otu, lalu mereka minta surat keterangan ke Pemda, Padahal perbuatan seperti itu, pada dasarnya dapat dinilai sebagai u[aya mengadu-domba antara institusi yang satu dengan lain, yang akan dapat menimbulkan saling curiga dan salinbg menyalahkjan”.
Masih menurut Zulficar, fihaknya mengklaim bahwa saat ini proses mengurus perizinan menangkap ikan hanya akan memakan waktu kurang dari 11 hari. Diawali pendaftaran dokumen dan membayar pajak. Namun bila kapal yang izinnya sudah habis dari waktu 1 tahun harus dilakukan ulang cek fisik. Maka ditegaskan pula, bagi pelaku usaha yang tidak mempunyai itikad memperpanjang surat-surat legalitasnya, maka izin mereka berpotensi akan dicabut. Tegasnya: “Kami akan segera minta mereka melapor untuk memperpanjang izinnya. Kalau mereka tidak melakukan pengurusan, maka mau tidak mau terpaksa akan kami coret izin mereka” tegasnya.
Perilaku membandel seperti itu, mayoritas masih dipakai agar mereka dapat tetap melaut. Mereka tetap melaut untuk menangkap ikan, dengan cara saling gantian menggunakan izinnya. Atas dasar itu, maka KKP bertekad untuk melakukan penertiban. Menurut Zulfikar, perilaku membantel seperti itu dapat merugikan perekonomian negara, karena pajaknya tak dibayarkan. Selain itu juga menguras sumber daya perikanan.
Apabila izin-izin kapal tersebut tidak diperpanjang, Ia mengancam akan mencabut izin kapal, mengurangi alokasi kapal, hingga mencabut Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP). Tuturnya: “Dalam beberapa hari ini, kami masih akan lihat dulu sambil melakukan cek klasifikasi apa betul surat edaran atau notifikasi saja atau seluruhnya. Kami akan segera lakukan kontak nanti, dan paling lama kami akan kasih waktu satu sampai dua minggu”.
Terkait dengan masalah tersebut, Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikanan, minta agar para pengawas lebih meningkatkan pengawasan terhadap para pelaku illegal fishing di manapun. Kalau didapat fakta yang berpotensi merugikan negara, perbuatan di dalam negeri maupun di luar negeri, harus segera diambil tindakan pencegahan.
Perlu Diperluas
Terpicu oleh masalah di atas, Masyarakat Perikanan Indonesia (MPI) mengusulkan adanya perluasan cakupan dalam aturan terkait dengan transshipment atau alih muatan di tengah laut yang termasuk dalam tindak illegal, unreported, unregulated fishing (IUU Fishing). Saut
Tampubolon, Direktur Eksekutif MPI nyatakan saat ini yang jadi fokus dalam pengentasan IUU Fishing, masih sebatas pada ikan hasil tangkapan, bagaimana cara penangkapan ikan dilakukan, dan adanya potensi pelanggaran izin menangkap atau wilayah tangkapan.
Padahal, dalam skala lebih luas terdapat banyak hal yang menjadi pemicu berlangsungnya kegiatan transshipment dan IUU Fishing, seperti kebutuhan logistik, suplai bahan bakar dan makanan yang mengalir lancar ke kapal-kapal pelaku transshipment dan IUU Fishing. Kata Saut, Selasa lalu: “Kalau ini tidak dilarang ya susah juga, karena larangan transhipment-nya akan tetap tidak efektif”.
Dia berharap perluasan cakupan larangan transshipment, hingga ke sisi pemutusan suplai bahan bakar, makanan dan kebutuhan logistik lain untuk kapal-kapal pelaku alih muat ilegal ini dapat dimasukkan ke dalam rekomendasi dokumen Blue Paper 15 terkait dengan IUU Fishing yang saat ini tengah dibahas dan akan dibawa ke high level panel (HLP). Dengan itu akan kian banyak negara yang memahami dan mengadopsi perluasan larangan tersebut. Jika nanti negara-negara lain ikut mengadopsi perluasan aturan larangan transshipment ilegal itu diharap kerja sama antar negara dalam menindak pelaku transshipment ilegal akan dapat lebih mudah. Jelasnya: “Misalnya katakanlah, kalau ada kapal Vietnam ketahuan melakukan IUU Fishing, Pemerintah Vietnam harus membantu negara yang melapor untuk mengakses siapa orangnya sebagai pelaku”.
Praktik IUU Fishing, khususnya alih muatan di tengah laut ke kapal-kapal berukuran di atas 200 gross tonnage (GT) di Indonesia telah lama di larang. Di samping itu, penggunaan kapal-kapal penangkap ikan di atas 150 GT dan kapal pengangkut di atas 200 GT pun sudah tidak diperbolehkan. Adapun alih muat kapal yang diperbolehkan di Indonesia saat ini adalah dari kapal penangkap ikan lokal ke kapal pengangkut lokal yang disertai berbagai ketentuan, seperti pembatasan jumlah kapal penangkap ikan yang diijinkan memindahkan muatannya ke satu kapal pengangkut yang sama.
Pada dasarnya, praktik ini mendapatkan kritik dari berbagai pihak, lantaran kecilnya ukuran kapal yang diizinkan untuk menangkap dan mengangkut ikan, serta batasan jumlah kapal pengangkut yang diijinkan menerima alih muat dari kapal penangkap. Namun ketentuan yang berlaku saat ini, masih dapat dimaklumi sebagai upaya sementara, sebelum diterbitkan peraturan yang lebih luas dan komprehensif. (Erick Arhadita)