SURABAYA – MARITIM : Menanggapi terbitnya Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 7 Tahun 2019 tentang ketentuan pemasangan dan aktivasi Automatic Identification System (Sistem Identifikasi Otomatis/ AIS) pada kapal-kapal berukuran diatas 35 GT yang berlayar di seluruh perairan Indonesia, Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menyatakan fihaknya sudah memasang perangkat AIS pada seluruh kapal penyeberangan sejak 2008. Khoiri Soetomo, Ketua Umum Gapasdap menyaatakan saat itu, pemerintah mewajibkan seluruh kapal feri memasang AIS menyusul tabrakan yang kerap terjadi di banyak lintasan penyeberangan.
Pada 2008, pemberlakuan mandatori AIS ditanggapi riuh oleh Gapasdap. Pasalnya, anggota sedang mengalami kesulitan, karena pemerintah menetapkan tarif penyeberangan yang sangat rendah. Kendati demikian, demi keselamatan pelayaran anggota Gapasdap akhirnya memenuhi kewajiban dengan menerapkan mandatori AIS. Dalam diskusi di Jakarta, Rabu (14/8/2019) lalu, Ketua Umum Gapasdap berucap: “Karena waktu itu peralatan AIS baru diperkenalkan, ada anggota kami yang membeli peralatan AIS brand Eropa dengan harga Rp70 juta. Ada lagi yang buatan Korea Selatan, harganya mendekati Rp40 juta. Pada hal uang sejumlah itu pada tahun 2008 sangat besar. Karenanya banyak yang keberatan. Tetapi setelah mengkaji pentingnya AIS, akhirnya para anggota Gapasdap segera melaksanakan aturan yang dikeluarkan pemerintah tentang penerapan AIS”.
Lebih jauh, Ketua Umum Gapasdap menfgungkapkan: “Tabrakan kapal terjadi akibat dari oversupply kapal di semua lintasan penyeberangan. Berdasarkan data kami, jumlah armada feri di atas 300 GT di Indonesia saat ini mencapai 435 unit. Jumlah kapal-kapal besi berkelas maupun tidak berkelas yang melayani pengangkutan danau mencapai ratusan. Itu belum termasuk angkutan sungai yang jumlahnya ribuan”.
Khoiri Soetomo yang adalah salah seorang Direktur PT Dharma Lautan Utama. memberi contoh oversupply di lintasan penyeberangan Merak-Bakauheni terjadi karena kekurangan dermaga. Jumlah kapal feri dsi lintasan ini mencapai 71 unit, tetapi jumlah dermaga hanya 6 pasang. Belum lagi jika nanti pemerintah memberi izin operasional bagi 14 kapal yang kini sudah mengantongi izin prinsip. Terang Khoiri: “Kalau ada antrean penumpang, pemerintah bukannya membangun dermaga, malah izin kapal ditambah. Ini mengakibatkan kapal hanya berputar-putar saat mau merapat ke tambatan”.
Kecelakaan kapal akibat tabrakan antara lain dialami oleh kapal feri KMP ‘Bahuga Jaya’ yang bertubrukan dengan kapal tanker ‘Northgas Chatinka’ berbendera Norwegia di perairan Selat Sunda pada September 2012, karena kesalahan navigasi. Insiden mengakibatkan tujuh orang tewas. Pada April 2019, KMP ‘Windu Karsa Dwitiya’ yang akan keluar alur Pelabuhan Merak bertabrakan dengan KMP ‘Virgo 18’ yang akan masuk alur Pelabuhan Merak. Masing-masing kapal milik anggota Gapasdap ini diduga tak mengetahui lokasi kapal lain. Akibat kejadian itu, satu orang ABK tercebur ke laut dan ditemukan meninggal. (Ayu/Sub/Maritim)