JAKARTA – MARITIM : Apabila Indonesia sebagai produsen tekstil tidak ikut serta dalam era industri 4.0, maka cukup berisiko mendapatkan dampak negatif, seperti kalah bersaing dalam inovasi produk hingga kehilangan pasar.
“Karena pada penggunaan teknologi tinggi industri 4.0 akan mempermudah target produksi tercapai, baik waktu produksi yang singkat, kualitas produk dan berkelanjutan,” kata Deputi Kepala Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Prof Dr-Eng Eniya Listiani Dewi, seperti disampaikan Peneliti Utama BPPT, Dr Ir Sudirman Habibie, pada seminar nasional tekstil 2019 bertema “Tantangan dan Peluang Inovasi Tekstil & Apparel di Era Industri 4.0”, di Jakarta, kemarin.
Apalagi, menurutnya, konsumen industri 4.0 menuntut produk premium dengan waktu produksi yang singkat. Karena penggunaan teknologi juga akan memperluas inovasi produk dan efisiensi produksi.
Pentingnya Indonesia ikut serta era industri 4.0, lanjut Sudirman, setidaknya karena punya 5 latar belakang pokok. Pertama, industri tekstil menjadi salah satu industri prioritas dan masuk pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.
Kedua, persaingan industri tekstil saat ini semakin meningkat dan di sisi lain lingkungan industri sedang berubah, dengan sangat pesatnya mengangkat isu industri yang ramah lingkungan sebagai perhatian utamanya. Sementara pada 2030, Indonesia juga akan memasuki masa bonus demografi.
Kelima, angka kebutuhan tekstil per kapita nasional naik 2 kg dari 4,5 kg menjadi 6,5 kg. Sementara suplai tekstil dalam negeri baru terpenuhi kurang lebih 70 juta orang. Sementara selebihnya masih diimpor.
Tambahan 30 juta pekerja
Sudirman menyebutkan, pada 2019 jumlah usia produktif di Indonesia mencapai 67% dari total penduduk di Indonesia. Sekitar 45% dari 67% usia produktif tersebut berusia 15-34 tahun. Sedangkan pada 2030, Indonesia juga akan memasuki masa bonus demografi, di mana populasi usia produktif diperkirakan akan bertambah sebanyak 30 juta orang. Sehingga kebutuhan lapangan kerja semakin besar.
Industri terbesar di Indonesia masih makanan dan minuman yang menyumbang hampir sepertiga dari output manufaktur negara itu tahun lalu. Ini diikuti oleh kontribusi 11% dari produk-produk terkait minyak bumi, sekitar 9% masing-masing berasal dari industri otomotif, kimia, dan elektronik. Sedangkan industri tekstil dan pakaian jadi menyumbang 6% dari total output.
“Karena itu, dari hasil pemetaan industri manufaktur, pemerintah memutuskan untuk fokus pada lima industri utama yang dipilih berdasarkan dua kriteria,” ungkap Sudirman.
Pertama, kelayakan implementasi berkenaan dengan kondisi infrastruktur dalam industri serta kesiapan produsen untuk mengadopsi teknologi baru. Kriteria kedua, didasarkan pada dampak yang diproyeksikan ditentukan oleh kontribusi terhadap pertumbuhan PDB yang akan diterapkan oleh reformasi industri 4.0.
Untuk mendapatkan manfaat terbesar dari tekstil 4.0, perusahaan perlu fokus pada 4 aspek, yaitu melakukan percobaan dengan teknologi melalui pilot serta meningkatkan teknologi dan sistem informasi.
Kemudian membangun tenaga kerja berbakat melalui pelatihan yang tepat serta mengejar bentuk kemitraan baru untuk mengembangkan teknologi dan pasar.
Dengan penerapan industri 4.0, Sudirman berkeyakinan, berbagai persoalan yang selama ini menghambat pertumbuhan indsutri TPT nasional dan kerja ekspor akan teratasi. Karena pada 2030, sudah terbangunnya industri hulu dengan meningkatkan kualitas bahan baku, sehingga meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan zonasi industri.
Di sisi lain, dengan meningkatnya kerja inovasi, maka permintaan pasar domestik maupun luar negeri sudah terpenuhi. Jauh meninggalkan model kerja lama seperti tingginya ketergantungan pada impor bahan baku.
Fokus pada produk massal dan lower end markets, biaya produksi tinggi sehingga mengurangi daya saing serta tenaga kerja dengan kompetensi rendah. (Muhammad Raya)