Nelayan Makassar Kembali Protes Reklamasi CPI

Nelayan berperahu lewat titik sempit/dangkal menuju lahan proyek CPI
Nelayan berperahu lewat titik sempit/dangkal menuju lahan proyek CPI

MAKASSAR SULSEL – MARITIM : Terdorong perasaan dirugikan akibat reklamasi lahan yang berimbas pada pendapatan dan perekonomian mereka yang terus menurun, Kamis (19/09/2019) lalu ratusan nelayan di perairan Makassar dan sekitarnya, kembali lakukan unjuk rasa pada lokasi reklamasi Central Poin of Indonesia (CPI) Makassar, Sulawesi Selatan. Ungkap Indrajaya, Ketua Kelompok Nelayan Bontorannu: “Sebelum dilakukan reklamasi, pendapatan kami baik-baik dan dapat menghidupi keluarga. Tetapi setelah reklamasi, kami jadi susah karena terus merugi. Bahkan beberapa nelayan harus memutus sekolah anaknya karena tak ada biaya”.

Menurut Indrajaya, dengan adanya proyek reklamasi itu, tangkapan ikan, udang, dan kerang sangat sulit didapat. Kalau pun harus melaut, mereka harus bekerja jauh di luar area. Sebab perairan di sekitar proyek reklamasi sudah tercemar dan keruh, hingga biota laut tidak lagi mampu bertahan hidup lama.

Masih menurut Indrajaya, biaya bahan bakar untuk melaut, yang biasanya hanya diperlukan tiga liter, kini membengkak menjadi lima sampai tujuh liter perhari karena harus keluar jauh dari wilayah tangkap biasanya. Hasil tangkapan pun hanya sedikit, dengan nilai harga antara Rp100.000-Rp150.000. Padahal, biasanya tiap nelayan dengan hasil tangkapan yang cukup banyak, mampu meraih pendapatan Rp300.000-Rp500.000.

Selain itu, adanya jembatan di CPI sangat menggangu, bahkan pendangkalan akses keluar nelayan menjadi masalah utama. Di tengah kesulitan tersebut PT Ciputra Grup selaku pihak pengelola CPI, tetap bersikukuh akan membangun jembatan kedua dekat area jalur keluar/ masuk bagi perahu nelayan.

Terkait hal tersebut, Muhaimin Arsenio Koordinator aksi yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) menyebutkan, dampak reklamasi itu menggangu aktifitas nelayan dari tiga kelurahan, yakni Tamarunang, Panambungan, dan Bontorannu, Kecamatan Mariso disebabkan terjadinya pendangkalan di akses jalur keluar/masuk kapal nelayan.

Penyebab utama dari kondisi tersebut adalah salah satu titik dangkal dan sempit yang biasa dilewati nelayan, berada di bawah jembatan CPI. Bahkan sejauh ini fihak pengelola proyek bukannya menawarkan solusi, tetapi justru berencana membangun jembatan baru. Untuk keperluan itu, sejumlah 43 Kepala Keluarga digusur dan alat tangkap mereka ikut tertimbun oleh pasir.

Jelas Arsen yang juga aktivis lembaga Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel: “Kami telah mendesak pihak pengembang agar tidak lagi membangun jembatan baru, sebab jembatan yang lama saja menuai masalah. Kami juga mendesak Ciputra melakukan pemulihan akses nelayan dengan segera melakukan pengerukan, mencabut larangan menangkap ikan di lokasi reklamasi, dan menuntut pemulihan hak atas alat dan ruang tangkap nelayan yang ikut tertimbun di lahan reklamasi”.

Pihaknya meminta pengelola reklamasi CPI segera menindaklanjuti tuntutan peserta aksi agar segera direalisasikan termasuk pembangunan kanal akses keluar perahu. Ia juga menuntut pemerintah kota dan provinsi ikut terlibat menyelesaikan masalah nelayan, mengingat reklamasi tersebut sejak awal telah menimbulkan persoalan.

Menghadapi gejolak penolakan para nelayan tersebut, Syarif selaku kuasa hukum dari PT Ciputra Grup menjelaskan:  “Yang berkaitan dengan keberadaan jembatan pertama yang dinilai menyulitkan akses bagi para nelayan, itu merupakan pembangunan oleh pemerintah provinsi. Sementara itu kami juga telah lakukan pengerukan di jalur akses perahu nelayan, tetapi oleh para nelayan hal itu dinilai belum cukup. Karenanya saya hadir di sini untuk mendengarkan aspirasi serta mencari jalan keluar. Kalau terkait pembuatan jembatan baru, kami tak perlu ditekan-tekan, karena pembangunan kanal untuk akses jalur bagi nelayan, kami masih menunggu arahan dari pemerintah setempat”.

Menurut para nelayan, kuasa hukum Ciputra Grup beralasan keterlambatan pembangunan kanal tersebut, belum dapat diatasi karena belum ada petunjuk dari Pemkot Makassar maupun Pemprov Sulsel sebagai pemilik lahan. Padahal, menurut peserta aksi, pembuatan kanal tersebut sudah tertuang dalam Amdal setelah dilakukan adendum.

Aksi unjuk rasa terkait reklamasi tersebut berakhir setelah kedua belah pihak sepakat untuk mengagendakan pertemuan kembali dengan menghadirkan Pemkot Makassar dan Pemprov Sulsel, pihak Ciputra, nelayan dan ASP, guna membahas solusi dari permasalahan tersebut. Peserta aksi kemudian membubarkan diri dan pulang menggunakan perahu mereka masing-masing.  (Erick Arhadita)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *