JAKARTA – MARITIM : Produksi minyak sawit Indonesia pada Juli 2019 naik 8% dibandingkan produksi Juni 2019. Hal ini terjadi karena pada Juni 2019 terjadi kekurangan hari panen dan adanya lebaran sehingga tanda buah segar (TBS) terpanen di bulan Juli 2019.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dalam siaran pers menyatakan, volume ekspor produk minyak sawit Juli 2019 naik16% dibandingkan ekspor Juni 2019. Kenaikan ekspor dijumpai di biodiesel (+93%), CPO (+52%), lauric oil (+23%), refined palm oil (+6%). Sedangkan ekspor oleo kimia turun (-18%).
Penyakit flu babi Afrika, menurunkan crushing kedelai di China yang berdampak pada peningkatan impor minyak sawit dari Indonesia hampir 50% dari Juni 2019. Peningkatan ekspor yang besar juga terjadi ke Bangladesh (+264%), India (+77%) meskipun ada diskriminasi tarif, Afrika (+32%) dan negara lain (+41%), EU (+17%). Sementara ekspor ke Amerika Serikat turun (-54%) dan ke Timur Tengah juga turun (-43%). Secara total, eksporblJuli 2019 naik 16% dari ekspor Juni 2019.
Ekspor biodiesel mencapai 187 ribu ton dan sekitar 140 ribu ton (75%) diekspor ke China. Sementara ekspor eleo kimia mengalami penurunan 8% dari ekspor Juni 2019.
Konsumsi lokal minyak sawit untuk keperluan pangan pada Juli 2019 menurun 6%. Hal ini disebabkan pada Mei 2019 industri menyiapkan stok produk untuk lebaran yang jatuh pada awal Juni 2019. Sehingga pemakaian minyak sawit untuk pangan Mei 2019 tinggi (955 ribu ton).
Pada Juli 2019, industri pangan cenderung mengeluarkan stok kelebihan produksi yang dipersiapkan untuk lebaran. Konsumsi minyak sawit untuk oleo kimia meningkat 6% dibandingkan Juni 2019 tetapi relatif sama dengan Mei 2019.
Dengan situasi produksi dan konsumsi tersebut, stok minyak sawit Indonesia pada Juli 2019 menjadi 3,5 juta ton atau sekitar 2,7 kali konsumsi lokal bulanan.
Harga rata-rata CPO CIF Rotterdam pada Agustus 2019 mencapai US$541 per metrik ton yang merupakan rata-rata bulanan tertinggi sejak Maret 2019. Namun, harga minyak sawit masih menunjukkan tren yang menurun sejak Januari 2017.
Tren menurun yang sudah cukup panjang cukup merisaukan produsen. Perang dagang Amerika Serikat dan China menyebabkan stok kedelai di Amerika meningkat, petani serta pemerintah Amerika berusaha mencari pasar pengganti China sementara produsen minyak sawit, karena sifat alami tanaman tahunan, tidak mampu menahan produksinya dan harus menjual ke pasar.
Terobosan yang akan diambil pemerintah Amerika Serikat untuk mengurangi stok kedelai, keberhasilan China untuk menangani masalah flu babi Afrika dan melonjaknya harga daging babi serta implementasi B-20 dan B-30 di Indonesia akan sangat menentukan keseimbangan minyak nabati yang pada akhirnya menentukan perubahan harga minyak sawit ke depan.
Terlepas dari ramalan harga minyak sawit, pengalaman yang lalu mendesak Indonesia untuk segera meningkatkan produktivitas, melakukan efisiensi produksi agar biaya produksinya menjadi kompetitif. Indonesia perlu segera merumuskan mekanisme yang memungkinkan pengaturan stok dan pasokan ke pasar dunia agar dapat lebih menentukan harga yang terbentuk di pasar. (Jum)