JAKARTA – MARITIM : Sebagai negara maritim terbesar di dunia, Indonesia harus mampu mewujudkan impiannya sebagai poros maritim dunia. Upaya itu harus didukung SDM yang handal, khususnya pelaut yang profesional dan menguasai teknologi, serta perangkat pendukungnya yang memadai.
Untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, peran pelaut sangat besar, khususnya yang telah berprofesi sebagai nakhoda (captain),” kata Ketua Umum Ikatan Nakhoda Niaga Indonesia (INNI) Capt. Dr. Anton Sihombing dalam kuliah umum di kampus Sekolah Tinggi Maritim (STIMar) AMI, Pulomas Jakarta Timur, Kamis (3/10).
Kuliah umum itu diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis STIMar AMI ke-59 yang dihadiri para undangan dari instansi terkait dan segenap civitas akademika STIMar AMI. Selain Dr. Anton Sihombing, Dirjen Imigrasi Dr. Ronny F. Sompie juga tampil sebagai nara sumber bertajuk ‘Kewajiban Nakhoda Saat Meninggalkan dan Memasuki Perairan Indonesia’.
Ketua STIMar AMI Capt. Albert Lapian M. Mar. dalam sambutannya mengatakan, kuliah umum kali ini mengambil topik yang berkaitan dengan program studi (prodi) Nautika. Pada dies natalis ke-58 tahun lalu, kuliah umum diadakan untuk prodi Tehnika, sedang tahun 2017 berkaitan dengan prodi Ketatalaksanaan Pelayaran Niaga dan Kepelabuhanan (KPN).
Dijelaskan, STIMar AMI memiliki 3 prodi, yakni Nautika, Tehnika dan KPN. Prodi Nautika menyiapkan Ahli Nautika Tingkat III (ANT III), prodi Tehnika menyiapkan Ahli Tehnika Tingkat III (ATT III).Sedang prodi KPN (D4) menyiapkan sarjana sains terapan dalam bidang manajemen transportasi laut, usaha bongkar muat, pengelolaan petikemas, manajemen kepelabuhanan dan usaha pengiriman barang.
Dalam kuliah umum bertajuk ‘Peran Nakhoda Menuju Poros Maritim Dunia’, lebih jauh Capt. Anton Sihombing menegaskan, untuk merealisasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, peran pelaut, khususnya nakhoda, sangat besar. Tapi peran itu belum terlihat karena banyak pihak yang masih melihat sebelah mata.
Meski tidak diucapkan secara langsung, namun kritiknya itu diarahkan ke pemerintah yang hingga saat ini belum melibatkan nakhoda atau mantan kapten kapal pada posisi-posisi penting. “Dari lebih 14.000 pegawai di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut di seluruh Indonesia, yang berlatar belakang pelaut kurang dari 600 orang,” ujarnya sedih.
Menurut Anton Sihombing, hanya sedikit yang peduli pada pelaut (nakhoda), tapi banyak pihak yang mengambil keuntungan dari peran pelaut. Sewaktu masih jadi kapten kapal, peran nakhoda dianggap sangat penting karena bisa mewakili perusahaan, atau bahkan negara. Tapi bila sudah turun kapal dan tidak dipakai lagi, kariernya selesai. Bahkan, banyak yang nasibnya menyedihkan karena tidak ada yang mau memperjuangkan.
Anggota DPR RI dari Fraksi Golkar itu kemudian mengkritisi UU No.17/2008 tentang Pelayaran. “Undang-undang ini hanya membesarkan Pelindo (Pelabuhan Indonesia), sehingga Pelindo dapat memperbanyak anak dan cucu perusahaan. Tapi tidak ada pasal yang memberdayakan pelaut, khususnya nakhoda,” tegasnya.
Di tengah pemerintah berupaya mewujudkan Indonesia sebagai poros dunia, lanjut Ketua Komisi Tinju Indonesia (KTI) Pusat itu, mestinya pemerintah menempatkan mantan-mantan nakhoda pada posisi-posisi penting, khususnya mereka yang telah berpengalaman di kapal-kapal internasional.
Anton yang pernah jadi nakhoda di kapal Belanda yakin para mantan nakhoda akan mampu berperan besar dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Upaya ini juga perlu dibarengi dengan pembenahan dan pengembangan sistem transportasi laut di seluruh Tanah Air.
Sebagai negara maritim terbesar, posisi Indonesia sangat strategis karena berada di antara dua benua (Asia-Australia) dan dua samudera (Hindia-Pasifik). “Selain mewujudkan poros maritim dunia, kita juga harus memiliki sistem transportasi laut yang handal dan nihil kecelakaan,” kata Anton Sihombing.
Kewajiban Nakhoda
Dalam kesempatan itu, Dirjen Imigrasi Dr. Ronny F. Sompie memaparkan tentang Kewajiban Nakhoda Saat Meninggalkan dan Memasuki Perairan Indonesia. Kewajiban ini tertuang dalam UU No.6/2011 tentang Keimigrasian beserta peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Menkumham No.44/2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia.
Dikatakan, setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib diperiksa pejabat Imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Untuk pemeriksaan awak kapal dan penumpang, ada 93 pelabuhan yang ditetapkan sebagai TPI.
Nakhoda wajib menyampaikan daftar awak kapal dan penumpang yang ditandatanganinya kepada pejabat Imigrasi. Daftar ini harus sama dengan manifest. Sebelum pemeriksaan Imigrasi, nakhoda wajib memastikan seluruh awak kapal dan penumpangnya memiliki dokumen keimigrasian/visa. Selama pemeriksaan, semua awak dan penumpang harus tetap berada di kapal.
Menurut mantan Kapolda Bali itu, pemeriksaan keimigrasian juga dapat dilakukan di atas kapal dalam perjalanan dari luar negeri menuju Indonesia. Baik terhadap WNI, orang asing, maupun awak kapalnya.
Bila kapal tidak melalui TPI, nakhoda akan dipidana penjara paling lama setahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta. Dalam hal nakhoda sengaja menurunkan atau menaikkan penumpang sehingga tidak melalui TPI, nakhoda akan dipidana penjara maksimal 2 tahun dan atau denda paling banyak Rp 200 juta.
Dies natalis juga diwarnai potong tumpeng yang dilakukan oleh Ketua Yayasan Sinar Poseidon Gupita, Evira Tri Noverni, disaksikan Ketua STIMar AMI Capt. Albert Lapian. Potongan tumpeng diberikan kepada Ny. Basuki Suyoto, Anton Sihombing dan taruna STIMar termuda. (Purwanto).