JAKARTA – MARITIM : Mengacu data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) neraca perdagangan September 2019 tercatat sebesar US$160 juta. Hal itu disebabkan ekspor September yang turun 1,29% dari bulan sebelumnya menjadi US$14,10 miliar dan impor yang tumbuh. Sementara itu, impor tumbuh 0,63% dari bulan sebelumnya menjadi US$14,26 miliar. Catatan itu mengakibatkan neraca perdagangan Indonesia sepanjang Januari—September 2019 masih tercatat defisit di kisaran US$1,95 miliar.
Kinerja perdagangan Indonesia yang kembali memburuk, mengakibatkan ancaman terhadap pelambatan ekonomi makin kuat. Ekspor pada September 2019 secara tahunan mengalami penurunan cukup tajam, yakni 5,74%. Suhariyanto, Kepala BPS katakan penyebab utama lemahnya kinerja ekspor Indonesia ialah anjloknya harga sejumlah komoditas andalan. Jelas Kepala BPS Selasa (15/10/2019): “Kinerja ekspor Indonesia, secara umum memang terbeban kondisi ekonomi global yang melemah. Namun secara khas, ekspor kita tertekan oleh harga dua komoditas ekspor utama kita yakni batu bara dan minyak kelapa sawit yang mengalami kejatuhan”.
Menanggapi hal itu, Shinta W. Kamdani, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) katakan kinerja perdagangan Indonesia itu kian menguatkan indikasi pertumbuhan ekonomi RI bakal melambat pada tahun ini. Hal itu tampak dari impor migas yang masih tinggi, sedang kinerja ekspor secara total maupun nonmigas masih terus mencatatkan tren negatif. Ungkapnya: “Data BPS juga menunjukkan impor nonmigas terbesar ada pada barang konsumsi. Sementara itu, impor bahan baku penolong justru terus terkoreksi. Artinya ada tekanan terhadap produtivitas industri dalam negeri yang tentu berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi kita”.
Berdasar data BPS, pada September 2019 impor barang konsumsi tumbuh 6,09% secara tahunan menjadi US$1,41 miliar. Pada periode yang sama, impor barang modal juga tumbuh 8,91% secara tahunan menjadi US$2,59 miliar. Sebaliknya, impor bahan baku penolong juga turun 5,91% menjadi US$10,26 miliar. Sementara itu, sepanjang Januari-September 2019 impor bahan baku penolong turun 10,22% menjadi US$93,45 miliar. Penurunan impor di sektor tersebut jadi yang terbesar dibanding golongan barang lain. Masih menurut Shinta, meningkatnya impor barang konsumsi akan menekan kinerja kondisi industri domestik. Tekanan lain pun tampak dari turunnya impor bahan baku dan penolong sebagai elemen utama industri untuk memproduksi barang & jasa
“Apabila impor bahan baku terus turun, lalu produktivitas terus tertekan, dan impor produk konsumsi justru makin tinggi, maka efeknya pelaku usaha dalam negeri akan memiliki risiko gagal bayar atau pailit yang juga makin tinggi” imbuh Wakil Ketua Umum Apindo.
Menurutnya pelaku usaha meyakini defisit neraca perdagangan terjadi bukan semata-mata karena efek perlambatan pertumbuhan dan perdagangan dunia. Tetapi tekanan terhadap kinerja dagang juga disebabkan oleh faktor domestik. Jelasnya: “Sejumlah beban terkait tenaga kerja, procurement impor, dan biaya energi seharusnya dapat diefisiensikan untuk merelaksasi tekanan terhadap produktivitas industri domestik. Dengan demikian, kinerja ekspor dapat tumbuh dan dengan sendirinya impor hanya untuk kegiatan produktif”.
Seiramadengan hal tersebut, Handito Joewono, Ketua Komite Tetap Bidang Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyebut defisit neraca perdagangan yang terjadi sepanjang tahun ini akan jadi beban bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini sulit untuk menembus 5,0%, karena industri manufaktur terus tertekan oleh penurunan impor bahan baku. Jelasnya: “Pemerintah terlalu fokus menekan impor, yang ternyata salah sasaran. Impor bahan baku dan penolong yang turun tajam tapi barang konsumsi masih mampu tumbuh. Tentu ini menjadi kendala bagi industri manufaktur RI yang menjadi salah satu elemen utama pendorong pertumbuhan ekonomi”.
Untuk itu Handito berharap pemerintah lebih bekerja keras memacu ekspor. Dinilai terdapat empat komoditas yang dapat dipacu ekspornya guna mendukung kinerja dagang Indonesia, yaitu bahan makanan, elektronik, fesyen dan produk dekorasi rumah. Menurutnya, apabila pemerintah tak segera mengambil langkah cepat dan strategis Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan terperangkap dalam jurang resesi yang terjadi di negara-negara lain.
Sementara itu, Fithra Faisal, ekonom Universitas Indonesia katakan turunnya impor bahan baku serta penolong dan masih lemahnya ekspor manufaktur akan menjadi tekanan besar terhadap pertumbuhan ekonomi RI. Sebab, dengan turunnya impor bahan baku/penolong menandakan sulitnya industri manufaktur berekspansi. Jelasnya: “Pertumbuhan ekonomi sangat bergantung sekali terhadap kinerja industri dan ekspor. Ketika kinerja keduanya melambat atau tertekan seperti yang terjadi saat ini maka saya perkirakan pertumbuhan ekonomi sulit untuk menembus 5,0% tahun ini”.
Lebih lanjut dikatakan, saat laju impor bahan baku terus melambat dan ekspor manufaktur tak mengalami pertumbuhan signfikan maka dapat diartikan industri dalam negeri masih menghadapi tekanan yang besar. Untuk itu diminta agar pemerintah memetakan kembali kebijakannya di bidang industri dan perdagangan. Karena selama ini pemerintah belum menujukkan kebijakan yang membuat industri, terutama berbasis ekspor dapat melakukan ekspansi secara maksimal.
Jelas Fithra pula: “Apalagi terkait pembiayaan bagi industri. Pembiayaan ekspor kita belum maksimal. Di sisi lain pelaku usaha swasta juga ruangnya terbatas untuk terbitkan obligasi karena pasar obligasi kita lebih dari 80% dikuasai pemerintah. Maka tak heran jika ekspansi manufaktur kita terbatas hingga impor bahan baku turun, impor konsumsi terus melaju dan ekspor manufaktur terkoreksi”.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan pemerintah sedang berupaya menggenjot kinerja sektor industri dan perdagangan nasional, terutama ekspor. Hal itu dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap 16 peraturan Menteri Perdagangan yang dinilai memberatkan bagi industri. Pungkasnya: “Untuk jangka sampai akhir tahun nanti, kami sedang rumuskan perubahan peraturan yang berkait dengan ekspor dan impor. Intinya ada relaksasi bagi dunia usaha dalam negeri untuk berekspansi lebih besar”. (Erick Arhadita)