BANDUNG – MARITIM : Untuk mendukung program Kemenperin dalam meningkatkan daya saing industri nasional, Balai Besar Barang Bahan Teknik (B4T) akan terus memberikan kontribusinya dalam berbagai kegiatan penelitian, pengembangan dan perekayasaan (litbangyasa) yang tidak hanya sebatas pada hasil-hasil diseminasi saja, namun telah diimplementasikan hingga ke hilir. Sehingga dapat digunakan oleh industri.
“Jadi, hasil-hasil litbangyasa itu tidak hanya sekadar memberikan out put (dokumen), tapi juga sudah mencapai out come (hasil yang digunakan industri). Misalnya, kami ditugaskan mengembangkan teknologi penyimpanan energi berupa baterai ion litium,” kata Kepala B4T Kemenperin, Budi Susanto dan Kepala Balai Besar Keramik (BBK) Kemenperin, Gunawan, usai pembukaan Seminar Nasional ‘Teknologi Bahan dan Barang Teknik’ oleh Kepala BPPI Kemenperin, Ngakan Timur Antara, kepada wartawan, di Bandung, Jawa Barat, kemarin.
Pasalnya, menurutnya, baterai ion litium sangat diperlukan pada saat ini. Mengingat sejak 2017-2018 impor baterai ion litium nasional untuk laptop dan barang elektronik lainnya terus meningkat. Di mana pada 2017 nilai impornya mencapai US$120.737.585 dan pada 2018 sebesar US$207.092.100.
“Namun begitu pada 2024, Indonesia akan mandiri memproduksi bahan baku baterai ion litium, terutama untuk kendaraan listrik. Pasalnya, bahan baku nikel yang dibutuhkan untuk pembuatan baterai ion litium tersedia sudah tersedia di dalam negeri. Persisnya di Morowali, Sulawesi Tenggara,” kata Budi.
Maka dari itu, sambungnya, pada 2024 Indonesia tidak akan tergantung lagi terhadap impor bahan baku baterai ion litium untuk kendaraan listrik, laptop dan barang elektronik lainnya. Sehingga dengan ketersediaan bahan baku lokal ini, Indonesia optimis sudah mampu mandiri dan tidak perlu lagi impor bahan baku baterai tersebut.
Dijelaskan, permasalahan dalam penggunaan baterai kendaraan listrik yang perlu diperhatikan adalah limbahnya. Pasalnya, jika limbah baterai itu tidak ditangani dengan baik, bisa jadi limbah berbahaya.
“Karena itu perlu dipikiran soal daur ulang limbah baterai kendaraan listrik tersebut. Terkait dengan itu, B4T sedang melakukan penelitian terkait daur ulang limbah baterai ion litium. Sehingga nanti hasilnya diharapkan sebagai salah satu solusi dalam mengatasi potensi permasalahan lingkungan baterai kendaraan listrik di masa depan,” urainya.
Budi menyebut, modernisasi pelayanan publik B4T dilakukan dalam beberapa tahap, antara lain pengembangan dashboard terintegrasi, equipment dan energy monitoring berbasis Internet of Things (IoT), asisten virtual berbasis Artificial Intelligence (AI), visualisasi monitoring memakai teknologi Augmented Reality (AR) dan manajemen order layanan menggunakan RFID.
“Karena era revolusi Industri 4.0 membuktikan bawa teknologi dan informasi telah jadi dasar berkembangnya industri menuju otomasi dan digitalisasi,” ungkapnya.
Keramik
Pada kesempatan sama, Kepala Balai Besar Keramik (BBK) Kemenperin, Gunawan, menilai pihaknya sangat mendorong hasil riset bisa masuk di sektor industri. Untuk itu, adanya Masyarakat Keramik Indonesia (MKI) bisa menjembatani proses riset untuk bisa masuk di sektor industri.
Mengingat, hasil riset bidang keramik belum sepenuhnya masuk di sektor industri, karena harus memenuhi TRL atau TKT level 7-9. Technology Readiness Level (TRL) disingkat Tingkat Kesiapterapan Teknologi (TKT) adalah tingkat kondisi kematangan atau kesiapterapan suatu hasil penelitian dan pengembangan teknologi tertentu yang diukur secara sistematis dengan tujuan untuk dapat diadopsi oleh pengguna/industri.
“Maka dari itu, kami saat ini sedang menuju tahapan tersebut, agar hasil riset kita bisa mendukung industri di Tanah Air,” ujar Gunawan. (Muhammad Raya)