JAKARTA – MARITIM : Kalangan importir mengeluhkan masih tingginya ongkos logistik di pelabuhan, meskipun dari sisi masa penimbunan peti kemas (dwelling time) sudah diturunkan. Anton Sihombing
Ketua Umum Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mengatakan ongkos logistik di Indonesia masih terlalu mahal jika dibanding dengan negara lain seperti Kamboja dan Vietnam. Hal itu menjadi beban bagi importir yang berdampak kepada harga produk yang dijual importir kepada konsumen.
Ujarnya, Selasa (22/10/2019 lalu: “Untuk itu kami akan surati Presiden Joko Widodo, bahwa ongkos logistik kita mahal. Buat apa dwelling time turun tetapi ongkos logistik masih mahal. Pelabuhan Tanjung Priok menjadi bukti, bahwa ongkos logistik di sana sangat mahal”.
Menurut Anton, para anggota GINSI mengklaim fihaknya tidak pernah dilibatkan dalam penentuan tarif logistik dan jasa kepelabuhanan. Menurutnya, seharusnya pemerintah melibatkan importir, anggota GINSI untuk menghitung ongkos logistik tersebut lantaran diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No.72/2017 tentang Jenis, Struktur, Golongan dan Mekanisme Penetapan Tarif Jasa Kepelabuhan.
Ketua Umum GINSI juga minta pemerintah menambah atau mengubah aturan mengenai perusahaan yang diperbolehkan melakukan verifikasi atau pemeriksaan teknis impor (VPTI). Selama ini, dalam sejumlah peraturan Menperdag yang terkait dengan mekanisme importasi barang yang harus diverifikasi, pemerintah hanya menunjuk PT Surveyor Indonesia (Persero) dan PT Superintending Company of Indonesia (Persero). Kata Anton Sihombing yang pernah malang melontangh sebagai promotor olahraga tinbju: “Terhadap kedua perusahaan itu sebentar lagi akan dilebur dalam perusahaan holding. Jadi tak sesuai dengan karakternya sebagai perusahaan verifikasi yang melaksanakan kerjasama operasional (KSO). Pemerintah harus mengganti ketentuan yang meminta hanya kedua perusahaan itu yang melakukan verfikasi impor”.
Menurut laporan yang dia terima, kedua perusahaan pelaksana verifikasi tersebut sering kali menugaskan perusahaan lain untuk melakukan verifikasi. Alhasil, ongkos pelaksanaan VPTI jadi membengkak, hingga membebani importir di sisi biaya logistik importasi. Saat ini sudah
terdapat 26 produk impor yang wajib dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis impor. Produk-produk itu adalah tekstil dan produk tekstil, nitro selulosa, beras, garam, prekursor, gula, cakram optik, keramik, mesin printer/fotokopi berwarna, dan limbah non B3. Selain itu terdapat pula produk elektronika, produk makanan dan minuman, alas kaki, mainan anak-anak, baja (non paduan), kaca lembaran, obat tradisional dan herbal, bahan berbahaya (B2), ban, bahan perusak ozon dan produk hortikultura. Juga produk lain berupa telepon selular, komputer genggam (handheld), dan komputer tablet, pakaian jadi, kosmetika, semen clinker dan semen, tepung gandung serta baja paduan. Menurutnya apabila kendala-kendala yang dialami para importir tersebut tidak segera diperbaiki, maka akan menganggu daya saing Indonesia di sektor perdagangan maupun investasi.
Menanggapi hal itu ekonom Indef Bhima Yudhistira katakan pemerintah perlu memeriksa tingkat efektivitas importasi di Indonesia. Masih tingginya ongkos logistik importasi di tengah turunnya tingkat dwelling time, harusnya jadi perhatian besar bagi pemerintah.
Imbuh Ketua UmumGINSI: “Kita sedang berpacu dengan negara lain untuk memberi servis yang baik bagi investor. Kalau persoalan seperti biaya logistik untuk importasi saja masih mahal, tentu investor akan berpikir ulang untuk masuk”.
Di sisi lain, Anton juga mendukung usulan GINSI untuk menambah jumlah perusahaan pelaksana VPTI yang ada di Indonesia. Hal itu dibutuhkan untuk menciptakan persaingan pasar yang sehat sehingga berpeluang membuat biaya verifikasi yang ditanggung importir menjadi lebih terjangkau. (Erick Arhadita)