Kinerja Ekspor Nasional Jauh Panggang dari Api

Ketua DPD GPEI DKI Jakarta Irwandy MA Rajabasa bersama Sekjen HIMKI Abdul Sobur saat memberikan keterangan pers
Ketua DPD GPEI DKI Jakarta Irwandy MA Rajabasa bersama Sekjen HIMKI Abdul Sobur saat memberikan keterangan pers

JAKARTA – MARITIM : Kinerja ekspor nasional jauh panggang dari api. Masih jauh tertinggal dibanding negara-negara tetangga. Pelaku usaha menilai, penyebab utamanya dari dulu sampai sekarang adalah regulasi yang tidak pro dunia usaha.

“Dibanding Vietnam saja kita kalah. Banyak investor yang awalnya berminat menanamkan modal di Indonesia, namun karena masalah regulasi yang menghambat, mereka lebih memilih pergi ke Vietnam. Kenapa? Karena Vietnam menerapkan regulasi yang pro dunia usaha,” kata Sekjen Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, usai dialog interaktif bertema ‘Meningkatkan Daya Saing dengan Regulasi Produktif untuk Peningkatan Ekspor Nasional’, di gedung IPC, Jakarta, Rabu (30/10).

Read More

Menurut Sobur, regulasi yang tidak bersahabat dengan dunia usaha juga jadi pemicu sulitnya Indonesia meningkatkan ekspor komoditas non migas.

Misalnya, komoditas furnitur. Lima tahun lalu asosiasi pengusaha furnitur menargetkan ekspor furnitur pada 2019 sebesar US$5 miliar. Namun target ekspor tersebut tidak terealisasi karena upaya peningkatan ekspor tidak didukung oleh regulasi yang pro dunia usaha.

“Tahun lalu, ekspor furnitur hanya mencapai US$1,7 miliar. Bandingkan dengan Vietnam yang mampu meraih nilai sekitar US$8,5,” ujar Sobur.

Belum lagi, sambungnya, soal pajak dan suku bunga perbankan. “Di Vietnam besaran potongan semua flat 17%. Di kita, pajak badan saja 24%, PPN 10%, bunga perbankan 10%. Total ada 44%. Sehingga menyebabkan biaya tinggi.”

Padahal, dari segi bahan baku, Indonesia jauh lebih unggul dibanding Vietnam. Seharusnya Indonesia mampu unggul ketimbang Vietnam dalam hal ekspor furnitur.

Keluhan soal adanya hambatan bagi kegiatan ekspor juga diungkapkan oleh Ketua DPD Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) DKI Jakarta, Irwandy MA Rajabasa.

Menurutnya, meskipun banyak regulasi kemudian terus diperbaiki, tapi dalam praktiknya di lapangan masih sama saja. Yaitu masih banyak yang menghambat dunia usaha dan menimbulkan biaya tinggi. Termasuk regulasi yang tidak bermanfaat, tapi terus diadakan dan dipertahankan seperti antara karantina kapas dan ini menimbulkan biaya tinggi dan waktu.

“Khusus untuk daerah DKI Jakarta, aturan domisili juga menurut kami banyak yang salah, karena aturan ini seharusnya hanya untuk perusahaan baru atau aktivitas baru yang memiliki limbah industri atau perluasan usaha,” ujarnya.

Irwandy menambahkan, masih adanya kendala-kendala tersebut membuat pertumbuhan industri manufaktur dalam lima tahun terakhir mengalami pasang surut. Pada 2014 pertumbuhannya 4,64%, pada 2015 sebesar 4,33%, 2016 sebesar 4,26%, 2017 sebesar 4,29% dan pada 2018 sebesar 4,27%.

10 langkah

Untuk meningkatkan daya saing sektor industri strategis dan mendorong ekspor nasional, GPEI maupun HIMKI mengajukan 10 langkah usulan yang harus diterapkan pemerintah.

Pertama, mempermudah/memfasilitasi eksportir mendapatkan bahan baku dari lokal lewat fasilitas Kemudahan Lokal Tujuan Ekspor (KLTE) dan optimalisasi penggunaan PLB.

Kedua, harmonisasi kebijakan pengembangan industri manufaktur dan perlindungan pasar, dengan memberikan fasilitas penurunan production cost bagi industri upstream dan intermediate goods dan/ atau semi-finished products. Sehingga bisa bersaing dangan barang sejenis asal impor. Sedangkan industri hilir dilindungi dengan bea masuk, tariff & non tariff barrier.

Ketiga, restrukturisasi permesinan/peralatan industri manufaktur menuju global supply chain dan Industry 4.0, dimulai dari 10 industri andalan ekspor dan industri subtitusi impor bahan baku/penolong dan barang modal.

Keempat, memperkuat industri kecil-mikro (downstream) sebagai jaminan pasar bagi industri besar-menengah (intermediate goods dan/atau semi-finished products).

Kelima, kerja sama perdagangan internasional dengan negara-negara komplementer (kepentingan pasar) dan negara sumber bahan baku yang tidak diproduksi dan/atau terbatas pasokannya di dalam negeri (kurang keekonomian).

Keenam, evaluasi Base Line Nilai UMK Karawang dan daerah lain sejenis serta meninjau kembali/kaji pemberlakuan upah sektoral.

Ketujuh, menjadi bagian dari global supply chain untuk produk yang memiliki value added (intermediate goods dan/atau semi-finished products).

Kedelapan, tidak mengeluarkan kebijakan yang kontra produktif. Kesembilan, percepatan perbaikan infrastruktur (jalan raya, rel kereta api, fasilitas pelabuhan dan bandara). Kesepuluh, penurunan suku bunga bank. (Muhammad Raya)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *