TANGERANG – MARITIM : Sejumlah industri sepatu di Provinsi Banten, mulai melakukan proses relokasi pabrik ke beberapa daerah di Jawa Tengah dengan alasan tidak mampu bertahan karena tingginya Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan kewajiban membayar Upah Minimum Sektoral (UMSK). Firman Bakri Anom Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) menyampaikan : “Provinsi Banten dinilai sudah kurang kompetitif bagi industri tertentu. Salah satu yang memberatkan adalah UMK plus UMSK, yang untuk industri alas kaki, selain diminta memenuhi UMK, juga masih ditambah beban bayar UMSK yang jumlahnya variatif antara Rp50.000 – Rp100.000 per orang per bulan. Bayangkan kalau ada 50.000 pekerja”.
Menurut Direktur Eksekutif Aprisindo, industri sepatu di Banten harus membayar Rp.4,1 juta/orang/bulan untuk memenuhi kewajiban UMK dan UMSK. Sementara UMK di Jateng, saat ini masih di bawah Rp.2 juta per bulan. Imbuhnya: “Akibat kondisi yang demikian itu, saat ini sudah ada 25 pabrik yang mulai menggeser investasi mereka ke Jateng. ke berbagai daerah seperti Majalengka, Cirebon, Brebes, hingga Temanggung dan Salatiga. Pabrik-pabrik tersebut sudah memasuki masa transisi, dengan perekrutan tahap awal terhadap sekitar 1.000-2.000 pekerja, maka pabrik yang di Banten mulai mengurangi jumlah karyawan”.
Firman juga menyampaikan, sambil melakukan perekrutan pekerja di Jateng, para investor juga tengah melihat kondisi usaha di Banten. Kalau prospeknya kian menurun, maka pabrik utamanya di Banten akan digeser ke Jateng, hingga yang di Banten kian lama makin kecil. Dengan cara relokasi pabrik, membuat kapasitas produksi tak jauh berkurang. Diyakini, relokasi yang dilakukan dapat membuat industri alas kaki akan dapat lebih efisien, hingga ongkos produksi dapat dipangkas, yang pada akhirnya harga produk yang dihasilkan akan turun, hingga penjualannya akan tetap lebih kompetitif.
Kendati demikian, pelaku industri juga masih menghadapi beberapa kendala di Jateng. Di antaranya adalah soal ketersediaan tenaga kerja terampil, hingga perusahaan masih perlu memberi pelatihan keterampilan hingga melatih beradaptasi dengan kultur perusahaan untuk para calon pekerja. Ungkap Firman: “Tetapi, terlepas dari tantangan tersebut, para anggota kami masih melihat tak ada cara lain untuk survive selain efisiensi. Salah satunya dengan relokasi mencari beban SDM yang lebih kompetitif”.
Firman juga menyampaikan bahwa industri alas kaki Indonesia yang padat karya telah menjadi bagian dari rantai pasok global, hingga mau tak mau harus bersaing secara global, antara lain menghadapi Vietnam, Tiongkok, dan Kamboja, yang saat ini mulai menunjukkan eksistensinya. (Team Liputan)