SURABAYA – MARITIM : Disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak fokus serta target yang tidak terukur, Indonesia kehilangan peluang besar untuk menikmati potensi poros maritim dunia dari sektor logistik maupun perikanan. Terkait hal tersebut, Ir. Bambang Harjo Soekartono, praktisi dan pengamat transportasi logistik, menilai bahwa visi poros maritim dunia yang dicanangkan Presiden Joko Widodo tidak mampu diterjemahkan oleh para menterinya dalam Kabinet Kerja yang lalu. Jelasnya, Jum’at (15/11/2019) lalu: “Kabinet Kerja gagal mewujudkan visi Presiden. Kita berharap kegagalan ini tak terulang dalam Kabinet Indonesia Maju. Indonesia berada di poros maritim dunia, tetapi tak dapat manfaat dari keunggulan tersebut. Hal ini sama seperti tikus mati di lumbung padi”.
Menurut Bambang Harjo, hampir seluruh potensi poros maritim dunia dinikmati oleh negara tetangga, yang justru bukan merupakan negara kepulauan, seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dikatakan pula, saat ini sekitar 90% armada kapal dunia lalu-lalang di poros maritim dunia yang melalui perairan Indonesia, yakni 80% di Selat Malaka dan 10% lainnya melintasi Selat Makassar. Di Selat Malaka, jumlah kapal yang melintas lebih dari 100.000 unit dengan mengangkut 90 juta TEU’s petikemas per tahun. Singapura dan Malaysia masing-masing mampu menyedot sekitar 40 juta TEU’s, Thailand 10 juta TEUs, sementara itu Indonesia tak lebih dari 1 juta TEU’s.
Bambang Harjo yang alumnus Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) itu menyatakan kekecewaannya, bahwa Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang di Selat Malaka yakni 600 mil, tetapi tak mendapat limpahan logistik dari Selat Malaka, sedangkan Singapura dengan garis pantai hanya 15 mil dan Malaysia 200 mil masing-masing mampu meraup Rp300 triliun dari transshipment di lintasan itu.
Menurut analisis Bambang Haryo, kapal-japal asing tak tertarik transshipment di pelabuhan Indonesia yang terdapat di sepanjang Selat Malaka, karena pelabuhan-pelabuhan yang ada, belum memiliki fasilitas bongkar muat petikemas yang memadai, sehingga pelayanan yang diberikan tidak mampu optimal, dan tarif yang dikenakan juga mahal.
Di samping itu, kedalaman alur pelayaran pelabuhan maupun kedalaman kolam yang ada di pelabuhan-pelabuhan Indonesia di sepanjang Selat Malaka, juga tidak layak untuk sandar kapal besar, hingga tak mampu jadi pelabuhan hub domestik maupun hub internasional. Pada saat ini, pelayaran masih mengandalkan Singapura sebagai pelabuhan hub domestik untuk Indonesia. Ujar Bambang Harjo selanjutnya: “Harusnya, Pemerintah menyediakan kawasan industri terintegrasi dengan pelabuhan, guna menarik ribuan investasi dari Asia Timur, Eropa, Amerika dan Australia”.
Dijelaskan, bahwa peluang ini besar karena investasi di Indonesia sebagai pusat poros maritim dunia akan memangkas jarak ke tempat tujuan sehingga ongkos logistik lebih murah. Apalagi Indonesia memiliki sumber bahan baku untuk industri dan sumber daya manusia melimpah.
Kalau ini dapat diwujudkan, Bambang Harjo yakin devisa dari transshipment dan kegiatan industri akan sangat besar, hingga ribuan triliun rupiah serta menyerap jutaan tenaga kerja lokal, sekaligus menumbuhkan ekonomi di kawasan tersebut.
Apalagi, lanjutnya, apabila Terusan Kra yang dibangun Thailand dibuka pada 2022, akan membuka peluang besar bagi Indonesia, terutama di wilayah Aceh, untuk menampung limpahan logistik yang tidak lagi melalui Singapura dan Malaysia. Pungkas Bambang Harjo:
“Sayangnya, pemerintah belum menyiapkan strategi dan kebijakan konkret menghadapi dampak pembukaan Terusan Kra. Padahal, pelabuhan Sabang dan Lhokseumawe di Aceh berpotensi besar menampung limpahan itu”. (Erick Arhadita)