JAKARTA – MARITIM : Pariwisata, sebagai industri tanpa asap, terbukti mampu jadi penopang utama ekonomi suatu negara. Sebut saja Islandia dengan pertumbuhan pariwisata 19,4%, Selandia Baru 14,6%, Qatar, dan beberapa negara lainnya. Terdorong oleh gambaran tersebut, pemerintah Indonesia sejak lama mencoba masuk ke jalur sutra pelancongan yang cukup menggiurkan itu. Namun sejauh ini, baru Bali yang berhasil menjadi ikon pariwisata global, sementara yang lain masih dalam langkah yang tertatih-tatih.
Sejauh ini, strategi Indonesia dalam mengembangkan sektor pariwisata dinilai belum maksimal. Karenanya sejumlah strategi tambahan pun dibutuhkan untuk memaksimalkan sektor tersebut. Namun banyak hal yang sifatnya masih dalam tahap coba-coba.
Hariyadi B. Sukamdani, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengatakan dinonaktifkannya Badan Promosi Pariwisata Indonesia (BPPI) oleh pemerintah, jadi salah satu sebab sulitnya Indonesia mendongkrak kunjungan wisatawan mancanegara. Untuk itu dia meminta agar lembaga tersebut kembali dibentuk oleh pemerintah. Ujarnya:
“Kami menyadari bahwa kami ikut berperan serta mengizinkan BPPI dinonaktifkan beberapa waktu lalu. Rupanya, dampak dari dinonaktifkannya badan tersebut sangat signifikan. Kami kehilangan jalur untuk melakukan penjualan produk pariwisata Indonesia di luar negeri,”.
Dikatakan saat ini proses pemasaran pariwisata Indonesia di luar negeri lebih didominasi oleh promosi (branding) yang berbentuk Visit Wonderful Indonesia. Sedang kebijakan penjualan (selling) paket pariwisata justru terbatas. Menurutnya, ketika BPPI hadir, proses penjualan produk pariwisata di Indonesia lebih mudah dilakukan. Pasalnya, badan tersebut selama ini menjadi jembatan dan memfasilitasi proses penjualan paket wisata RI dalam tiap misi dagang pariwisata di luar negeri.
Jelas Hariyadi lebih lanjut: “Jadi selama ini banyak wisman di luar negeri yang hanya tahu promosi Visit Wonderful Indonesia. Namun saat mereka ingin mencari atau membeli paket wisata di Indonesia, mereka kesulitan. Tentu hal ini pada akhirnya berdampak pada tingkat kunjungan wisman ke Indonesia”.
Lanjut Ketua Umum PHRI: “BPPI merupakan bentuk kolaborasi yang paling efektif antara pemerintah dan pelaku usaha pariwisata RI untuk mempromosikan dan menjual wisata di Indonesia. Dengan adanya BPPI, pelaku usaha akan berperan dalam menyediakan ide program penjualan dan promosi pariwisata, sementara pemerintah menyokong dari segi anggaran. Daripada anggaran pariwisata lebih banyak digunakan untuk event forum group discussion atau rapat-rapat saja, mendingan dialihkan untuk BPPI yang sudah jelas memiliki manfaat lebih besar bagi pariwisata kita”.
Selain itu, Hariyadi mengatakan PHRI juga akan mengusulkan agar fasilitas bebas visa dari 169 ditinjau ulang efektivitasnya. Menurutnya, pemerintah perlu mengkaji tambahan insentif berupa penambahan waktu izin tinggal yang dibebaskan visanya bagi wisman dari 169 negara tersebut. Dikatakan insentif khusus tersebut dapat diberikan antara lain kepada wisman berstatus pensiunan dari beberapa negara. Insentif tersebut salah satunya berupa penambahan izin lama waktu tinggal di Indonesia.
“Pensiunan dari Eropa dan Jepang kami rasa perlu diberi insentif khusus seperti pemberian izin tinggal hingga enam bulan di Indonesia. Sebab jumlah kelompok masyarakat tersebut di kedua negara saat ini cukup besar. Daya belinya pun tinggi” ujar Hariyadi yang merupakan orang pertama di Grub Sahid.
Menurutnya, Indonesia tertinggal dari Thailand dalam mengadopsi strategi pariwisata ITU. Hal itu menjadi salah satu penyebab tingkat kunjungan wisman Indonesia tertinggal apabila dibending dengan tingkat kunjungan wismanb di Negeri Gajah Putih, Thailand. Di samping memperkuat insentif untuk pariwisata dalam negeri, dia juga menyoroti kurang optimalnya langkah pemerintah mendorong dan memberi insentif agar restoran asal Indonesia dapat berekspansi di luar negeri. Padahal, menurutnya, kehadiran restoran RI di luar negeri merupakan salah satu bentuk promosi pariwisata Indonesia.
“Sejumlah usulan tersebut akan kami bahas dalam Musyawaran Nasional PHRI pada 8-10 Februari 2020. Kami ingin melakukan pembahasan yang mendetail supaya bisa menjadi bahan bagi pemerintah untuk memperkuat strategi pariwisata kita,” katanya.
Ketua Umum Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo) Elly Hutabarat mengakui BPPI perlu diaktifkan kembali. Selama ini, menurutnya beberapa negara yang mengandalkan pariwisata sebagai salah satu ujung tombak perekonomiannya, memiliki badan khusus untuk promosi dan penjualan paket wisata di dalam negerinya. Ujarnya: “Di Indonesia BPPI justru dihapus. Kebijakan ini berlawanan dengan berbagai negara lain yang justru memperkuat badan promosi pariwisatan yang merupakan kolaborasi swasta dan pemerintah”.
Di samping itu dia juga mendukung langkah PHRI yang meminta pemerintah menambah izin tinggal bagi pensiunan dari sejumlah negara. Menurutnya, pasar kelompok wisman tersebut sangat besar di beberapa negara. Menurutnya, negara seperti Jepang, Australia, Amerika Serikat dan kawasan Eropa menjadi asal wisman pensiunan yang paling banyak jumlahnya. Pasalnya negara-negara itu memiliki kelompok masyarakat dari kalangan baby boomers yang sangat besar. Ungkap Hariyadi:
“Bahkan kami sudah usulkan kebijakan itu sejak 20 tahun lalu, namun tak direspons dengan baik oleh pemerintah. Menurut perhitungan kami, apabila ada tambahan izin masa tinggal kepada kelompok wisman itu, setidaknya jumlah wisman per tahunnya dapat bertambah hingga 500.000 orang”.
Terkait hal tersebut, Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Rusmiati mengatakan Indonesia memiliki potensi yang besar menggaet wisman dari kelompok masyarakat pensiunan. Hal itu salah satunya didukung oleh ketersediaan jumlah pekerja di sektor perawat lansia di Indonesia. Ungkap Rusmi: “Iklim di Indonesia yang relatif hangat ini disukai wisman dari negara-negara Barat. Mereka tentunya akan sangat senang tinggal dan membelanjakan uangnya dalam jumlah besar di Indonesia jika waktu tinggal mereka di Indonesia bisa lebih panjang. Kami juga punya peluang baru untuk menjual paket perjalanan di luar negeri”.
Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata Guntur Sakti ketika diminta konfirmasi oleh awak media, belum memberi respons mengenai usulan dari pelaku usaha sektor pariwisata tersebut. (Erick Arhadita)