Serikat Pekerja/Buruh Tolak Pemerintah Terapkan Kelas Rawat Inap Satu Standar

Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia Saepul Tavip didampingi Wakil Ketua Sahat Butar-Butar dan Timbul Siregar (kiri) menjelaskan penolakan Serikat Pekerja/Buruh terhadap rencana penerapan KRIS mulai 1 Juli 2025.

JAKARTA-MARITIM: Seluruh Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang tergabung dalam Institut Hubungan Industrial Indonesia dengan tegas menolak rencana Pemerintah c/q Kementerian Kesehatan untuk menerapkan KRIS (Kelas Rawat Inap Satu Standar) yang akan dilaksanakan mulai 1 Juli 2025. Untuk itu, SP/SB minta pemerintah untuk segera merevisi pasal 103B ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) No.59/2004 yang mengamanatkan penerapan KRIS secara menyeluruh paling lama 30 Juni 2025.

“Pemerintah perlu melibatkan semua staholder JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) untuk membicarakan KRIS kembali. Kami SP/SB siap memberikan usulan konstruktif,” tegas Ketua Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) Saepul Tavip kepada wartawan di Jakarta, Selasa (11/3/2025).

Read More

Di awal penjelasannya Tavip mengatakan, Perpres 59/204, khususnya pasal 46 ayat (7) mengamanatkan KRIS dan di pasal 46A ayat 1 mengamanatkan 12 kriteria KRIS yang merupakan standar ruang perawatan di rumah sakit (RS) untuk mutu layanan medis dan keamanan pasien. Kehadiran KRIS dengan 12 kriteria tersebut sebagai upaya untuk  meningkatkan pelayanan nonmedis bagi pasien JKN.

Namun, rencana KRIS yang mau diterapkan penuh oleh pemerintah mulai 1 Juli 2025 dengan satu ruang perawatan di RS maksimal 4 tempat tidur (TT), memunculkan permasalahan. Alasannya, penerapan ini akan menghapus pelayanan ruang perawatan klas 1,2 dan klas 3 bagi peserta JKN.

“Setelah mempelajari konsepsi dan rencana implementasi KRIS Satu Ruang Perawatan dengan maksimal 4 TT, SP/SB di Tingkat Konfederasi dan Federasi menolak rencana Pemerintah c/q Kemenkes,” tegas Tavip yang didampingi Wakil Ketua IHII Sahat Butar-Butar dan Timbul Siregar yang juga pengamat BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial).

Tavip mengklaim pembahasan rencana KRIS tidak melibatkan SP/SB. Harusnya semua pembahasan yang terkait kepentingan masyarakat melibatkan semua unsur masyarakat, termasuk SP/SB yang mewakili pekerja/buruh.

Disebutkan, secara eksplisit Perpres 59/2004 tidak ada kalimat penghapusan variasi kelas inap 1, 2 dan 3 bagi peserta JKN. Selama ini pasien rawat inap dan keluarganya umumnya tidak mengeluhkan pelayanan ruang perawatan klas 1, 2, 3 yang merupakan layanan non medis. Yang sering jadi masalah di layanan medis antara lain, pasien disuruh pulang oleh RS dalam kondisi belum layak pulang, sementara obat terkadang tidak ada di apotik.

Menurut Tavip, sampai saat ini belum semua stakeholder JKN sepakat KRIS Satu Ruang Perawatan diterapkan mulai 1 Juli 2025. “Ini bentuk pemaksaan pemerintah kepada masyarakat, RS, dokter dan stakeholder JKN lainnya,” tegasnya.

Selama ini, lanjutnya, peserta klas 1 dan 2 berhak perawatan di ruang yang TT 1 sampai 3. Bila nanti diturunkan menjadi satu ruang perawatan 4 TT pasti akan menurunkan kualitas pelayanan. “Kami sudah membayar iuran BPJS cukup besar, yaitu 5% dari maksimal upah Rp 12 juta/bulan,” sambungnya.

Penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan pasti akan menurunkan jumlah ruang perawatan dan TT, sehingga peserta JKN akan semakin sulit mengakses layanan ruang perawatan. Saat ini saja, dengan adanya klas 1, 2 dan 3 akses ke ruang inap masih sulit, apalagi bila jumlah ruang perawatan dikurangi dengan signifikan, maka pasien JKN akan semakin sulit.

“Kalau ini terjadi maka merupakan bentuk pengingkaran amanat pasal 34 ayat 3 UUD 1945. Hak konstitusional rakyat dilanggar oleh pemerintah,” tegas Sahat Butar-Butar seraya menambahkan, keterbatasan ruang perawatan maka pasien JKN berpotensi ‘dipaksa’ menjadi pasien umum yang harus membayar sendiri.

Menurut dugaan Tavip dan Timbul Siregar, pemaksaan tersebut sepertinya ada upaya pihak tertentu untuk menyuburkan asuransi kesehatan yang selama ini terpuruk akibat adanya JKN yang sampai mau membiayai iuran BPJS bagi masyarakat tidak mampu.

Mengingat 1Juli 22025 tinggal beberapa bulan lagi, SB/SB mengusulkan pemerintah harus segera merevisi Perpres 59/2024 dan membahas kembali rencana penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan dengan seluruh stekholder JKN. “Kami SP/SB siap membahas dan mencari solusi yang tepat, misalnya dengan mengkaji penerapan KRIS Dua Ruang Perawatan,” sambung Tavip. (Purwanto).

Related posts