JAKARTA – MARITIM : Asosiasi masyarakat pengusaha penempatan TKI di luar negeri yang biasa disebut Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan TKI (HIMSATAKI) sangat kecewa dengan sikap pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, karena kebijakannya dinilai diskriminatif dan cenderung monopoli dalam sistem baru penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Saudi Arabia melalui sistem satu kanal.
Himsataki juga mempertanyakan kredibilitas Tim Seleksi yang menetapkan 58 Perusahaan Penempatan PMI (PPMI) yang diizinkan menempatkan PMI ke Saudi. Pasalnya, hasil seleksi tim dari Kemnaker, BNP2TKI dan Imigrasi itu, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri, Kemnaker, dalam statementnya menegaskan “dapat dipertanggung jawabkan”.
“Tapi belakangan 4 dari 58 perusahaan tersebut ditangkap oleh pihak berwajib karena melakukan pelanggaran dan ternyata SIUP Naker (Surat Izin Usaha Penempatan Tenaga Kerja)nya sudah dicabut. Kredibilitas apa yang bisa dipertanggung jawabkan,” kata Ketua Umum Himsataki Yunus Yamani di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Selanjutnya dikatakan, kebijakan diskriminatif dan monopoli dari Kemnaker itu jelas ditunjukkan dalam keberpihakannya terhadap salah satu kelompok pengusaha yang bermodal besar dan “mematikan” kelompok pengusaha lain yang bermodal kecil. Selain itu, perusahaan yang diseleksi hanya PPTKIS (Perusahaan Penempatan TKI Swasta) yang kini disebut P3MI (Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) dari salah satu asosiasi, sehingga anggota Himsataki tidak diikutsertakan.
“Ini tidak adil. “Kalau 58 P3MI diberikan kesempatan, kamipun menginginkan hal yang sama,” ujar Yunus menuntut keadilan.
Permasalahan ini muncul setelah Menaker Hanif Dhakiri tahun 2018 menerbitkan Surat Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan PMI ke Saudi Arabia melalui sistem satu kanal. Di sini juga sangat aneh, karena Menaker justru melibatkan KADIN (Kamar Dagang dan Industri) untuk ikut menetapkan P3MI bisa menempatkan PMI ke Saudi.
Dalam salah satu pasal keputusan itu disebutkan, PPTKIS/PMI yang akan menempatkan TKI ke Saudi Arabia harus memenuhi syarat, salah satunya harus menjadi salah satu anggota asosiasi yang ditunjuk oleh Kadin.
“Ini sangat aneh, karena selama anggota kami menempatkan TKI ke luar negeri, Kadin tidak pernah terlibat apapun. Namun dengan dikeluarkannya SK Menaker No. 291 Tahun 2018, Kadin telah berdiri di atas Menaker, atau lebih berkuasa,” ketus Yunus.
Dia menegaskan, semua PPTKIS/P3MI mempunyai SIPPTK (Surat Izin Persetujuan Penempatan Tenaga Kerja) yang boleh menempatkan TKI ke seluruh dunia. Tetapi dengan dilibatkannya Kadin, hidup PPTKIS/PMI ditentukan oleh Kadin.
Bila asosiasi tidak mendapat penunjukan dari Kadin, maka PPTKIS anggota asosiasi tidak bisa menempatkan TKI ke Saudi Arabia, padahal selama ini Kadin tidak berperan apapun dalam penempatan TKI ke luar negeri.
“Lalu untuk apa ada SIPPTK yang dikeluarkan Direktur PPTKLN?,” tanya Yunus.
Semua permasalahan ini dijelaskan secara rinci oleh Yunus Yamani selaku Ketua Himsataki melalui surat kepada Menaker Ida Fauziyah tertanggal 16 Desember 2019. Surat senada juga telah dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo. Kedua surat tersebut juga ditandatangani oleh Kepala Divisi Hukum, Nadya Farhani, SH.
Bukan kewenangan Kadin
Di bagian lain, Yunus menjelaskan, penempatan TKI ke berbagai negara dilakukan sejak tahun 1979. Sampai saat ini anggota HIMSATAKI masih tercatat sebagai pemegang SIUP Perdagangan dan SIUP Naker yang resmi dan ditandatangani oleh Menaker atau pejabat yang ditunjuk. Penempatan TKI berjalan dengan baik walau masih terjadi permasalahan di sana-sini.
Penempatan TKI ke Saudi terganggu setelah adanya kasus hukum pancung yang dijatuhkan kepada TKI dengan tuduhan telah membunuh salah satu keluarga di Saudi Arabia. Dampaknya, di Indonesia banyak yang ribut, seolah-olah TKI yang terkena hukum pancung tidak bersalah.
Pada 2011, pemerintah Indonesia mengambil sikap dengan memberhentikan sementara (moratorium) TKI ke Saudi Arabia. Selanjutnya, pada 2015 Menaker membuat keputusan untuk memberhentikan penempatan TKI ke-22 negara di Timur Tengah sampai saat ini.
Pada tahun 2018, Menaker Hanif Dhakiri membuat SK tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ke Saudi Arabia melalui sistem satu kanal. Di sinilah awal permasalahan yang dihadapi Himsataki dan seluruh anggotanya, yakni seleksi perusahaan yang tidak adil dan melibatkan Kadin dalam menetapkan persyaratan perusahaan yang bisa mengirim PMI ke Saudi.
Untuk itu, lanjut Yunus Yamani, sebagai asosiasi Himsataki pada 14 Februari 2019 mengirim surat permohonan penunjukan ke Kadin. Melalui surat tertanggal 19 Maret 2019, Kadin mensyaratkan asosiasi harus memenuhi beberapa persyaratan yang menjadi kewenangan Kemnaker. Antara lain bukti pengalaman telah melaksanakan penempatan PMI setidaknya dalam 5 tahun terakhir.
“Ini menunjukkan ketidaktahuan Kadin tentang penempatan tenaga kerja. Penempatan TKI dilakukan oleh PPTKIS, bukan oleh asosiasi. Syarat ini pun mustahil dipenuhi oleh PPTKIS anggota kami atau asosiasi lainnya, karena penempatan PMI ke Saudi telah dimoratorium sejak 2011. Kalaupun bisa dipenuhi, seharusnya kami mengajukannya ke Kemenaker, bukan ke Kadin,” tegasnya.
Tentang berbagai persyaratan dalam penempatan pekerja migran ke Saudi itu, Himsataki minta Menaker untuk mempertimbangkan kembali dengan harapan dapat diperingan sehingga P3MI siap memenuhi syarat yang ditetapkan pemerintah. Baik undang-undang, keppres, maupun keputusan menteri.
Mengenai modal perusahaan yang harus ditempatkan sebesar Rp 5 milyar dan deposito sebesar Rp 1,5 milyar yang diatur dalam UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, menurut Yunus, hal tersebut memberatkan karena moratorium sudah 8 tahun dan perusahaan mengalami kerugian. Selain itu, tidak adanya jaminan penempatan ke Timur Tengah / Saudi Arabia akan dibuka kembali jika syarat tersebut dipenuhi. (Purwanto).