2020, Menperin Patok Pertumbuhan Industri 5,30%, Lebih Rendah dari 2019

Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita
Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita

JAKARTA – MARITIM : Guna meningkatkan daya saing dan memperkuat struktur industri, Kemenperin mematok pertumbuhan kinerja industri manufaktur tahun ini mencapai 4,80-5,30%. Target peningkatan itu seiring dengan melonjaknya produktivitas sejumlah sektoral melalui penambahan investasi.

“Kami fokus mendorong kinerja industri manufaktur sebagai salah satu motor penggerak ekonomi nasional,” kata Menperin, Agus Gumiwang Kartasasmita, pada jumpa pers ‘Kinerja Tahun 2019 dan Outlook Pembangunan Industri Tahun 2020’, di Jakarta, Senin (6/1).

Read More

Menurutnya, pihaknya optimistis kinerja industri manufaktur pada 2020 tumbuh positif, meskipun di tengah kondisi global yang belum pasti. Pertumbuhan PDB industri pengolahan non migas pada 2019 sebesar 4,48-4,60%. Kontribusi PDB industri pengolahan non migas pada 2019 sebesar 17,58-17,70% dan tahun ini bakal naik jadi 17,80-17,95%.

Selama ini, sektor industri punya peran strategis, karena konsisten memberi kontribusi terbesar pada perekonomian nasional. Apalagi, aktivitas industri membawa efek ganda yang luas bagi peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal dan penerimaan devisa dari ekspor.

Karena itu, tambah Menperin, pemerintah gencar menarik investasi. Khususnya di sektor industri berorientasi ekspor, yang menghasilkan produk substitusi impor, berbasis teknologi tinggi dan sektor padat karya.

Di mana periode Januari-September 2019, nilai investasi sektor industri menembus Rp147,3 triliun, dengan nilai kumulatif sejak tahun 2015 sebesar Rp1.216,2 triliun. Diproyeksikan nilai investasi di akhir 2019 tercatat Rp188,8-Rp204,6 triliun. Sedangkan tahun ini investasi sektor industri ditargetkan Rp307-Rp351 triliun.

“Untuk mencapai itu perlu didukung penyelesaian kendala investasi dan kepastian usaha bersama pemangkasan regulasi melalui RUU Omnibus Law. Yang saat ini terus dimatangkan pembahasannya oleh pemerintah,” ujar AGK.

Dari serapan tenaga kerja, pada 2015-Agustus 2019, jumlah tenaga kerja sektor industri sudah mencapai 18,93 juta orang. Sementara pada 2020 jumlah itu diperkirakan sebanyak 19,59-19,66 juta orang.

Guna memfasilitasi investasi yang masuk di Tanah Air, pemerintah menyebarkan industri ke luar Pulau Jawa, salah satunya melalui pengembangan kawasan industri prioritas. Pada 2020-2024, ada 27 kawasan industri prioritas yang direncanakan, yaitu 14 di Pulau Sumatera, 6 di Kalimantan, 1 di Madura, 1 di Jawa, 3 di Sulawesi dan Kepulauan Maluku, 1 di Papua serta 1 di Nusa Tenggara Barat.

Saat ini, pemerintah tengah mengawal beberapa investasi besar sektor industri dari Taiwan dan Amerika Serikat, antara lain CPC Corporation (Taiwan) di sektor industri petrokimia, LiteMax (Taiwan) di sektor industri elektronika dan Smart City, Taiwan Sugar Corp (Taiwan) di sektor industri gula dan UNICAL (AS) di sektor industri dirgantara.

Penyumbang besar

Menteri AGK menjelaskan, industri manufaktur menjadi sektor penyumbang paling besar nilai ekspor nasional. Sepanjang periode Januari-Oktober 2019, ekspor produk manufaktur mencatatkan nilai US$105,11 miliar.

Ada tiga sektor yang jadi kontributor terbesar nilai ekspor, yakni industri makanan dan minuman sebesar US$21,73 miliar, diikuti industri logam dasar US$14,64 miliar serta industri tekstil dan pakaian jadi sebesar US$10,84 miliar.

Kemenperin memproyeksikan, tahun lalu ekspor produk industri mencapai US$123,7-129,8 miliar. Sedangkan pada 2020, ekspor produk industri bakal menembus US$136,3-US$142,8 miliar. Industri pengolahan juga merupakan sektor yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak. Sampai triwulan III/2019, kontribusinya 29,23% dari penerimaan pajak neto nasional atau sebesar Rp245,60 triliun.

Agus mengemukakan, dalam melaksanakan program pembangunan industri, pihaknya saat ini menghadapi 7 tantangan yang dihadapi. Pertama, kekurangan bahan baku seperti kondensat, gas, naphta, biji besi. Kedua, kurangnya infrastruktur seperti pelabuhan, jalan dan kawasan industri. Ketiga, kurangnya utility seperti listrik, air, gas dan pengolah limbah.

Keempat, kurangnya tenaga terampil dan supervisor, superintendent. Kelima, tekananan produk impor. Keenam, limbah industri seperti penetapan slag sebagai limbah B3, spesifikasi yang terlalu ketat untuk kertas bekas dan baja bekas (scrap) menyulitkan industri. Ketujuh, Industri Kecil dan Menengah (IKM) masih mengalami kendala seperti akses pembiayaan, ketersediaan bahan baku dan bahan penolong, mesin peralatan yang tertinggal, hingga pemasaran. (Muhammad Raya)

 

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *