Penanganan Sampah Plastik di Indonesia Belum Ditemukan Solusi Tepat

Ilustrasi
Ilustrasi

JAKARTA – MARITIM : Penyelesaian masalah sampah plastik di Indonesia tampaknya belum ditemukan solusi tepat. Karena berbagai kondisi dan keterbatasan kemampuan negara dalam mengurangi penumpukan dan penyebaran plastik secara baik dan efektif.
“Saat ini pengelolaan sampah menjadi energy (waste to energy) sudah dimulai oleh pemerintah. Kemudian circular economy dan upaya incenerator,” Kata Ketua Umum DPP Jaringan Pemerhati Industri dan Perdagangan, Lintong Manurung, dalam keterangan tertulis, kemarin.
Pengelolaan sampah jadi energi berupa pembangunan 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). PLTsa ini butuh sampah dengan kandungan plastik banyak. Namun diperkirakan akan terkendala karena sampah di negeri kita basah dan harga jual per kwh tinggi sehingga tidak mampu dibeli PLN.
Saat ini (Fuel/RPF) untuk PLTU diperlukan 5% campuran plastik agar memperoleh nilai kalori 4.100 kcal/kg. PLN mengajak perusaahaan lokal jadi start up dan bersedia membeli RFP dengan harga tertentu.
Circular Economy pemanfaatan sampah plastik untuk meningkatkan nilai produk, penciptaan tenaga kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Aktivitas ini membawa berkembangnya industri recycling plastik di dalam negeri dan melibatkan pemulung limbah plastik pengepul dan industri hilir plastik menyerap tenaga kerja 3 juta orang.
Menghasilkan produk daur ulang plastik (DUP) yang bersaing dan memberikan kontribusi tinggi terhadap ekonomi. Namun penggunaan sampah plastik jadi konstruksi seperti paving block dan aspal masih terkendala aspek kelayakan teknis dan ekonomis serta keterbatasan pasar.
Incenerator adalah salah satu upaya sangat efektif untuk mengurangi timbunan sampah plastik dan mencegah kebocoran plastik ke laut. Beberapa negara maju yang memiliki GDP tinggi dengan luas daerah terbatas, di antaranya Singapura dan Belanda, memilih cara ini di negaranya. Tapi memakai incenerator secara massif di Indonesia akan terkendala biaya operasional yang tinggi.
Kemudian pembuangan sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), yang harus dilakukan dengan bijak dan cerdas, agar sampah yang tertimbun dapat terurai dengan baik dan segera jadi humus dan tanah. Khusus untuk sampah plastik, pakai plastik ramah lingkungan (bio degradable), guna memanggulangi pencemaran lingkungan oleh plastik.
“Karena itu, kebijakan pemerintah yang paling tepat adalah mendukung dan membantu pengembangan dan pertumbuhan industri recycling plastik. Hal lain, mengelola TPA yang ramah lingkungan, agar sampah plastik dapat segera terurai jadi humus dan tanah,” ungkap Lintong.
Perlu bijak
Untuk pengenaan cukai plastik, DPP JPIP menilai, harus dilakukan dengan bijak agar efektif mengurangi pencemaran sampah plastik di darat dan di laut. Di sisi lain, regulasi itu jangan membebani produsen dan konsumen.
“Pemerintah perlu mengalokasikan penerimaa cukai plastik ini untuk pengembangan inovasi dan teknologi di bidang plastik yang ramah lingkungan. Insentif untuk inovator dan memberikan bantuan ke industri plastik yang kecil dan lemah,” katanya.
Sedangkan soal pencabutan larangan penggunaan plastik sekali pakai (PSP), Lintong mengatakan, itu adalah opini salah. Sehingga berbagai Pemda menetapkan regulasi PSP. (Muhammad Raya)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *