JAKARTA – MARITIM : Perbudakan atau kekerasan terhadap ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan berbendera China harus diusut secara tuntas disertai sanksi hukum yang tegas, sehingga kasus ini tidak terulang kembali. Pasalnya, kasus tersebut termasuk pelanggaran hukum dan HAM, apalagi sampai menyebabkan tiga orang meninggal dan jenazahnya dibuang ke laut.
Pemerintah RI harus segera melayangkan protes keras kepada pemerintah China dan melakukan tuntutan hukum terhadap perusahaan yang mengoperasikan kapal ikan tersebut.
Penegasan ini dikemukakan Ketua ITF (International Transportworkers’ Federation) Indonesia, Prof. Dr. Mathias Tambing, di Jakarta, Senin (11/5/2020), terkait terjadinya kasus perbudakan di kapal ikan yang menimpa ABK Indonesia.
ITF adalah organisasi internasional yang berpusat di Inggris dan merupakan afiliasi dari beberapa serikat pekerja (SP) sektor transportasi. Seperti SP Pelaut, SP Kereta-api, SP Penerbangan, SP Pelabuhan dan SP Buruh Pelabuhan.
Seperti viral diberitakan, sejumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal ikan ‘Long Xin 629’ berbendera China mengalami perbudakan di tempat kerja. Seperti dipaksa kerja 18 jam sehari dengan upah hanya USD 120 atau Rp1,8 juta/bulan. Mereka juga dipaksa minum air laut, bukan air mineral. Akibatnya, beberapa ABK jatuh sakit dan tiga orang meninggal dunia di kapal.
Menurut Prof. Mathias Tambing, kasus perbudakan ABK Indonesia di kapal ikan sudah sering terjadi, tapi pemerintah RI terkadang sulit menyelesaikan karena tidak lengkapnya data pelaut. Banyak ABK dipindah ke kapal lain tanpa prosedur yang jelas, sehingga KBRI di beberapa negara sulit melacak perusahaan kapal tempat ABK bekerja. KBRI juga sulit melacak agen perusahaan yang merekrut dan menempatkan ABK di kapal.
Perbudakan umumnya terjadi di kapal perusahaan milik China dan Taiwan. Selain di perairan Asia, kapal-kapal ikan itu juga beroperasi sampai Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan Lautan Atlantik.
Selanjutnya dikatakan, perbudakan sering terjadi karena pengusaha/nakhoda kapal memanfaatkan kelemahan ABK yang tidak memiliki dokumen perlindungan. Berdasarkan ketentuan internasional, pengusaha kapal harusnya memberikan dokumen perlindungan berstandar ILO (International Labour Organization) kepada semua ABK. Pasalnya, operasional kapal-kapal ikan itu menjangkau perairan di seluruh dunia, sehingga perusahaan wajib menerapkan ketentuan internasional, baik perlindungan maupun kesejahteraannya.
Dokumen perlindungan, lanjut Mathias, antara lain berisi tentang hak dan kewajiban ABK, kondisi kerja dan keselamatan kerja di kapal, upah dan kesejahteraan pelaut lainnya. Semuanya tercantum dalam PKL (Perjanjian Kerja Laut) maupun CBA (Collective Bargaining Agreement) yang ditandatangani oleh pengusaha kapal dan ABK.
“Semua ABK wajib memiliki PKL sebagai pedoman kerja, sekaligus solusi jika terjadi masalah terkait pekerjaan di kapal,” kata Mathias.
Namun, banyak ABK yang tidak paham tentang hal ini dan dianggap sepele setelah diterima bekerja di kapal tersebut. Bahkan, banyak ABK yang tidak memiliki PKL, padahal PKL sangat penting sebagai pedoman bekerja di kapal. Terutama jika menghadapi masalah, misalnya gaji tidak dibayar atau dipaksa bekerja di luar jam kerja yang ditentukan.
Investigasi menyeluruh
Untuk mengungkap perbudakan modern ini, kata Mathias Tambing yang juga Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), perlu dilakukan investigasi secara menyeluruh. Mulai dari proses perekrutan ABK, sistem perlindungan, PKL, syarat dan kondisi kerja di kapal maupun kesejahteraannya. Ia mendukung Bareskrim Polri yang telah mulai melakukan investigasi untuk mengungkap kemungkinan terjadinya tindak pidana dalam kasus perbudakan ABK.
Kasus yang banyak menimpa pelaut perikanan, menurut Ketua ITF Indonesia, upahnya tidak standar internasional (ILO), bahkan upah/lembur tidak dibayar sampai berbulan-bulan. Di kapal ikan biasanya ada bonus atas banyaknya ikan yang ditangkap, tapi bonus itu sering tidak diberikan.
Dalam kasus kapal ikan Long Xin 629 ini, banyak ABK yang belum menerima upah sesuai haknya, sedang upahnya hanya USD 120 atau setara Rp1,8 juta/bulan. Untuk itu, ia berharap pemerintah RI mengawal pengusutan di China dengan sanksi hukum bagi perusahaan kapal, serta memastikan semua hak ABK dibayarkan.
“Sanksi hukum yang tegas akan dapat menekan kasus perbudakan pelaut di kapal ikan,” sambungnya.
Mathias Tambing menambahkan, sering terjadinya kasus perbudakan di kapal ikan karena belum hadirnya pemerintah secara penuh dalam melindungi pelaut yang bekerja di kapal asing, baik di kapal penumpang, kapal kargo, tanker maupun kapal ikan. Masih terjadi ego sektoral antar instansi yang bertanggung jawab di sektor ini, misalnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Kementerian Kelautan & Perikanan, sehingga perlindungan pelaut sering terabaikan.
“Sikap ego sektoral dan tarik menarik kepentingan ini harus segera dihentikan dan diganti dengan sikap berpihak kepada pelaut, sehingga para pelaut merasakan manfaat perlindungan yang optimal,” tutup Mathias Tambing.
(Purwanto)