JAKARTA – MARITIM : Ditengah pandemi covid-19, Pemerintah memproyeksikan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2020 di level -5,08 persen. Sementara untuk ekonomi selama 2020 di kisaran -0,4 persen hingga positif 1 persen.
Namun kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam laporan semester I tahun 2020 dan APBN KiTa, Senin (20/7), asumsi makro kita 2020 untuk pertumbuhan ekonomi belum keluar dan baru keluar pada bulan Agustus. Untuk saat ini, masih gunakan proyeksi . Ekonomi Indonesia mulai menunjukkan tren yang positif pada Juni 2020.
Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2020 berada pada kisaran -5,08 hingga 3,54 persen,dengan point tengahnya sebesar -4,3 persen. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2020 , diperkirakan mencapai -0,4 persen hingga 1 persen. Asumsinya mulai bulan Juni 2020 sudah mulai ada pemulihan ekonomi karena adanya pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (SPBB) sehingga ekonomi mulai bergerak.
Dikatakan, selama semester I tahun 2020 ini, realisasi pendapatan negara tercatat senilai Rp 811,2 triliun atau terkontraksi 9,8 persen dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu Rp 899,6 triliun. Realisasi pendapatan negara itu setara dengan 47,persen dari target senilai Rp 1.699,9 triliun.
Di sisi lain, belanja negara hingga 30 Juni 2020 tercatat senilai Rp 1.068,9 triliun atau 33,8 persen dari pagu Rp 2.739,2 triliun. Realisasi belanja negara itu tumbuh 3,3 persen dibandingkan penyerapan per akhir Juni tahun lalu yang senilai Rp 1.034,7 triliun.
Dengan performa pendapatan negara dan belanja negara itu, lanjutnya. Defisit APBN tercatat mencapai Rp 257,8 triliun atau 24,8 persen dari patokan dalam APBN 2020 senilai Rp1.039,2 triliun. Realisasi defisit anggaran itu setara dengan 1,57 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit ini, bukan menjadi salah satu yang terburuk pasalnya pada tahun 2016 lalu, Indonesia juga pernah mengalami defisit yang lebih besar secara PDB pada semester I tahun 2020 ini.
“Kalau kita lihat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya defisit mengalami pemburukan yang cukup signifikan di (2016),” kata Sri Mulyani.
Lebih jauh Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, pada 2016 Indonesia juga sempat mengalami defisit hingga mencapai 1,82 persen dari PDB atau setara dengan Rp 230 triliun pada semester I. Hanya saja secara level atau nilai yang tercatat masih lebih rendah daripada defisit yang dialami sekarang ini. Meskipun kalau dilihat dari level defisit anggaran Rp 257 triliun. Ini kalau dibandingkan tahun 2016 dari sisi presentasi GDP, lebih rendah. Artinya APBN kita sampai dengan semester I di tahun 2016 dulu pernah mengalami defisit hingga 1,82 persen.
Sementara untuk penerimaan pajak hingga semester I/2020 masih tercatat kontraksi 12,0 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan penerimaan pajak hingga akhir Juni 2020 tersebut tercatat lebih dalam dibandingkan dengan akhir bulan sebelumnya 10,8 persen. Kontraksi tersebut juga disebabkan oleh pemberian berbagai insentif pajak pada dunia usaha.
“Pada penerimaan pajak, ada kontribusi insentif pajak yang membuat kontribusi penerimaan pajak menjadi negatif growth, selain pertumbuhan ekonomi yang mengalami kontraksi pada kuartal II,” katanya
Ia mengatakan, realisasi penerimaan pajak hingga akhir Juni 2020 senilai Rp 531,7 triliun atau 44,4 persen terhadap target APBN 2020 yang sudah diubah sesuai Perpres No. 72/2020 senilai Rp1.198,8 triliun. Sebagai perbandingan, realisasi penerimaan pajak selama enam bulan pertama pada 2019 tercatat senilai Rp 604,3 triliun atau 38 persen terhadap target. Performa tersebut sekaligus tercatat mengalami pertumbuhan 3,9 persen.
Pada realisasi penerimaan bea dan cukai hingga 30 Juni 2020, tercatat senilai Rp 93,2 triliun atau 45,3 persen dari target Rp 205,7 triliun. Realisasi itu mencatatkan pertumbuhan 8,8 persen dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 85,6 triliun.Untuk penerimaan PPh Migas mengalami kontraksi 40,1 persen pada semester I/2020 dari periode yang sama tahun lalu. Realisasi PPh Migas pada semester pertama ini hanya sebesar Rp 18,1 triliun. Penurunan PPh Migas ini dipicu oleh rendahnya volume produksi migas.
Lebih lanjut, pajak nonmigas sepeeti . PPh Nonmigas, PPN, PBB mengalami kontraksi sebesar 10,5 persen. Secara realisasi, penerimaan pajak nonmigas pada semester I/2020 hanya sebesar Rp513,7 triliun. Adapun, target tahun ini sebesar Rp1.167 triliun. “Perlambatan ekonomi dan pemanfaatan insentif pajak memberi tekanan pada hampir seluruh jenis penerimaan pajak. Adapun, kontraksi penerimaan pajak mencapai 12 persen pada semester I tahun 2020, dibandingkan semester I tahun 2019,” tegasnya.
Begitu juga di sektor industri pengolahan, penerimaan pajak pada Juni turun -38,4 persen dibandingkan Juni 2019. Memang masih minus, tetapi membaik dibandingkan Mei yang -45,2 persen.Konsumsi listrik , terlihat menjadi indikator solid turn around ekonomi kita. Secara total konsumsi listrik yang tadinya kontraksi, pada Juni masuk ke zona positif 5,4 persen.
Kemudian di sektor perdagangan, penerimaan pajak pada Juni masih turun -21,2 persen. Bulan sebelumnya masih minus -21,2 persen. Lalu di sektor jasa keuangan dan asuransi, penerimaan pajak pada Juni adalah -11,3 persen. Sedangkan di sektor konstruksi dan real estat, penerimaan pajak pada Juni turun -12,8 persen . Membaik ketimbang bulan sebelumnya yang mengalami kontraksi -20,9 persen. Sedangkan sektor pertambangan, penerimaan pajak turun -42,2 persen, ini lebih baik dibandingkan Mei yang ambles -62,1 persen.
Harga komoditas mengalami perbaikan. Harga minyak stabil di atas 40 dolar per barel, batu bara dan LNG (gas alam cair) juga ada perbaikan. Sedangkan penerimaan pajak dari sektor transportasi dan pergudangan, di mana pada Juni sudah tidak lagi terkontraksi tetapi sudah tumbuh positif 9,3 persen. Padahal bulan sebelumnya terjadi kontraksi -23,1 persen. (Rabiatun)