JAKARTA-MARITIM : PANDEMI Coronavirus atau corona-19, mencetak sejarah sebagai penularan penyakit yang tidak hanya menggemparkan dunia kesehatan global, tapi secara kompleks telah berpengaduh negatif terhadap perekonomian. Virus yang berawal dari Wuhan China, mulai menginveksi manusia di penghujung tahun 2019. Penularannya pun sangat spektakuler, berantai hanya melalui batuk, bersin, bicara bahkan hanya bersentuhan atau berjabat tangan dengan penderita, seseorang langsung tertular dan dalam waktu singkat bisa menyebabkan kematian.
Covid-19, mulai merebak di Indonesia sejak awal tahun 2020, dan hanya dalam waktu singkat covid-19 mengambil alih semua akrivitas masyarakat dengan berbagai fasilitasnya. Kantor, fasilitas pendidikan diliburkan, singkatnya semua aktivitas di Lockdown oleh Pemerintah sebagai upaya pencegahan penularan covid-19.
Akibatnya, hanya dalam waktu singkat segala aktivitas manusia terhenti, masing-masing mengisolasikan diri, tenaga kerja berguguran tergerus pemutusan hubungan kerja (PHK),seiring dengan anjloknya perekonomian Indonesia juga global. Berbagai program perekonomian, otomatis terhenti. Daya beli masyarakat menurun terus melemah, angka penderita covid-19 dan kematian secara kurve meningkat, susul menyusul diseluruh dunia tak terkecuali Eropa dan Amerika Serikat. Semua kegiatan perekonomian mati suri, dan pertumbuhan perekonian pun terjun bebas.
Usaha Mikro Kecil Menangah (UMKM) yang pada bebera kali krisi ekonomi Indonesia, selalu tampil sebagai pahlawan penyelamatan ekonomi domestik. Di masa pandemi covid-19, UMKM paling terdampak. Ini merupakan tekanan yang cukup besar pada perekonomian Indonesia. Karena kalau bicara tentang UMKM dan pasar, berkaitan dengan modal usaha yang notabene ada lembaga keuangan diantaranya perbankan dan perusahaan pembiayaan. Kaitannya, dengan lesunya daya beli masyarakat, otomatis likuiditas pelaku UMKM pun lesu darah, karena mereka tidak mampu membayar utang pokok apalagi bunganya.
Kondisi yang lesu dan nyaris terpuruk ini, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, langsung diantisipasi oleh Pemerintah dan OJK sebagai regulator yang mengatur lembaga keuangan, bank dan non bank. OJK harus menyelamatkan membantu UMKM, sektor yang paling dalam mengalami dampak akibat pandemi covid-19. “Melindungi UMKM dalam penguatan sektor riil, diharapkan mampu mendorong sektor keuangan,” tutur Wimboh Santoso, pada bincang-bincang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), secara virtual beberapa waktu lalu.
Dalam siaran pers yang diedarkan kepada media, OJK mengambil langkah pemulihan kata Wimboh, melalui restrukrisasi kredit dan pembiayaan, untuk menjaga stabilisasi sektor jasa keuangan dan memberikan ruang gerak bagi sektor usaha, dan masyarakat untuk tetap bertahan dimasa pandemi covid-19, untuk mempercepat pemulihan ekonomi. Kebijakan restrukrisasi kredit dan pembiayaan, telah dikeluarkan OJK sejak Maret 2020. Restrukrisasi kredit perbankan hingga September 2020, telah mencapai Rp884, 46 triliun yang diterima oleh 7,38 juta debirur. Jumlah nilai ini dinikmati oleh sektor UMKM sebanyak 1,44juta debitur, yang nilainya sebesar Rp360, 59 triliun.
“Selain kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan, berbagai kebijakan telah dikekuarkan OJK untuk menjaga sektor jasa keuangan agar tetap stabil,”tutur Wimboh, seraya menambahkan, sehingga bisa mendukung upaya pemulihan ekononi nasional yang mengalami pelemahan akibat pandemi covid-19.
Menurut Wimboh, kebijakan-kebijakan difokuskan untuk meredam votalitas pasar keuangan. Juga memberi ruang gerak sektoe riil, dan menjaga stabikitas serta optimalisasi peran aektor jasa keuangan dan memberikan kemudahan bagi sektor jasa keuangan. Kemudianunruk memberikan ruang gerak sektor riil, OJK sudah melakukan beberapa kebijakan, diantaranya relaksasi penilaian kualitas kredit/pembiayaan, penyediaan dana lain hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan atau bunga untuk kredit/pdmbiagaan sampai dengan Rp10 miliar, relaksasi kewajiban pelaporan bagi Emiten Skala Kecil dan Emiten Skala Menengah.
“Kami juga ingatkan supaya tidak menggunakan debt collector dan pengembangan Ekosistem Digital UMKM,” jelas Wimboh.
Peran OJK selanjutnya untuk menjaga stabilitas dan optimalisasi peran sektoe jasa keuangan menurut Wimboh, dikeluarkan melalui penerapan pemanfaatan restrukrisasi covid-19 tidak sebagai pemburukan kualitas kredit cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN), penundaan kewajiban pemberlakuan Basel III, peniadaan kewajiban pemenuhan Capital Conservation Buffer, penurunan batas minimum liquidity coverage ratio (LCR) dan nef stable funding ratii (NSFR) 85 persen, dan penundaan penilaian kualitas aset yang diambil alih (AYDA).
Selain restrukrisasi, dalam upaya peranannya melakukan Pemulihan Ekonomi Nasional, OJK pun meluncurkan kebijakan stabilitasi dan optimalisasi sektor jasa keuangan, yang dilakukan melalui relaksasi Penempatan Dana Antarbank, penurunan Penyisihan Penfhapusan Aktiva Produktif (PPAP) umum khusus Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Perintah tertulis untuk penggabungan, peleburan, pengambilalihan atau integrasi Bank Umum dan IKNB, relaksasi self-regulatory organization (SRO) kepada Stakeholder dan relaksasi pengelolaan manajer investasi, pengecualian prinsip keterbukaan di bidang Pasar Modal dan relaksasi nilai haircut intuk perhitungan collateral dan Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD).
Tidak hanya sebatas itu, OJK juga mengeluarkan beragam kebijakan, sebagai dujungsn atas upaya Pemulihan Ekonomi Nasuinal. Intinya, berbagai kebijakan difokuskan untuk meredam gejolak di pasar keuangan, menjaga stabilitas dan optimalisasi peran serta memberikan kemudahan bagi sektor jasa keuangan.
Sementara untuk kebijakan membeeiksn kemudahan bagi sektoe jasa keuangan, OJK pun sudah melakukan beberapa kebijakan masing-masing relaksasi batas penyampaian pelaporan keuangan, pengawasan dan penyampaian laporan menggunakan sistem informasi, pelaksanaan E-RUPS, pelaksanaan RUPS dengan media elektronik sebagai sokusi RUPS di masa pembatasan sosial, pelaksanaan fit and proper test dengan video conference, pemasaran melalui Produk Asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) dengan sarana digital, penggunaan digital signagure untuk perizinan WMI dan WAPERD, Relaksasi Penagihan Sanksi Denda dan Pembayaran Bunga serta relaksasi SRO kepada Stakeholder dengan pemberian diskon pungutan atau biaya.
Memperpanjang Relaksasi
Upaya perbaikan ekonomi Indonesia terus diupayakan OJK lewat berbagai kebijakan, sambil mengikuti perkembangan dan perubahan yang ada di masyarakat, dan para pelaku ekonomi nasional. Namun sejauh ini, dunia usaha domestik yang terpengaruh kondisi ekonomi global, masih memerlukan beberapa hal, menuju perbaikan yang kondusif.
Melihat kondisi ekonomi nasional yang belum stabil ini dan memperhatikan asesmen terakhir OJK terkait debitur restrukturisasi, pada Rapat Dewan Komisioner OJK pada tanggal 23 September 2020, OJK menegaskan, memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit selama setahun.
“Perpanjangan restrukturisasi ini sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi,”kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, seraya menambah namun kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi ditengah masa pandemi ini.
OJK segera memfinalisasi kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini dalam bentuk POJK termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan yang terkait antara lain pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) serta penundaan implementasi Basel III.
Dikatakan, realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan per tanggal 28 September 2020 sebesar Rp904,3 Triliun untuk 7,5 juta debitur. Sementara NPL di bulan September 2020 sebesar 3,15 persen menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,22 persen. Untuk menjaga prinsip kehati-hatian, bank juga telah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang dalam enam bulan terakhir menunjukkan kenaikan.
OJK senantiasa mencermati dinamika dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan di sektor jasa keuangan guna mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional. (Rabiatun Drakel)