Kelangkaan Kontainer Berdampak Ekspor Terhambat dan Dunia Usaha Merugi

Ketua Presidium HIMKI Abdul Sobur dan Ketua GPEI DKI Jakarta Irwandy MA Rajabasa saat zoom meeting bersama wartawan

JAKARTA-MARITIM : Ditengah upaya mempertahankan kelangsungan usaha akibat pendemi Covid-19, saat ini para pelaku usaha kembali dihadapkan pada permasalahan yang cukup memprihatinkan, yaitu terjadinya kelangkaan kontainer dan keterbatasan ruang/space di kapal.

“Dari sejumlah kontainer yang dibutuhkan para pelaku usaha, rata-rata hanya 25% saja yang dapat dipenuhi, atau jika kurang beruntung tidak mendapatkan kontainer sama sekali,” kata Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, saat zoom meeting bersama wartawan, di Jakarta, Rabu (2/12).

Read More

Menurutnya, dari yang dikeluhkan eksportir dari 10-15 kontainer per minggu yang dibutuhkan, hanya terpenuhi 5-6 kontainer saja. Padahal, jumlah yang dibutuhkan terbilang tidak sedikit.

“Lalu bagaimana dengan eksportir besar yang butuh kontainer dalam jumlah lebih banyak lagi. Dari kebutuhan 100 kontainer per minggu hanya bisa didapat sekitar 25-50 kontainer saja,” tanya Sobur.
Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) DKI Jakarta, Irwandy MA Rajabasa, menilai apabila kondisi tersebut terus berlanjut, maka ujung-ujungnya mereka akan gagal ekspor.
Yang lebih menyedihkan lagi eksportir terkena wanprestasi dan kena penalty karena tidak bisa memenuhi kontrak sesuai jadwal.

Selain itu, keterbatasan space di kapal dan bahkan tidak adanya kapal menyebabkan eksportir terkena demurrage dan diantara mereka terpaksa batal ekspor dan membongkar kembali kontainernya.
“Penyebab dari kelangkaan kontainer ini antara lain turunnya operasional di transshipment port yang belakangan ini hanya 50%. Selain itu, shortage container juga akibat menurunya volume impor menjadikan berkurangnya kontainer yang masuk ke Indonesia,” ujar Irwandy.

Bahkan kelangkaan kontainer ini hampir terjadi di semua pelabuhan, termasuk pelabuhan Medan dan Tanjung Emas, terutama untuk tujuan ekspor ke Asia. Apabila situasi ini terus berlanjut maka bukan tidak mungkin eksportir akan mengalami kerugian. Atau mungkin juga bangkrut.

“Kelangkaan kontainer telah mengerek naiknya harga freight dan kenaikannya tidak tanggung-tanggung. Bukan lagi 2 kali lipat melainkan hingga 5 kali lipat bahkan lebih,” hitungnya.

Kenaikan harga kontainer untuk Intra-Asia kenaikan atau General Rate Increase (GRI) sebesar US$150/20DC dan US$2.000/40”/4HDC berlaku efektif pada 1 Desember 2020. Kontainer ke Eropa naik menjadi US$6.800 atau naik sebesar US$2.509 dari harga sebelumnya. Ke Amerika Serikat saat ini harga kontainer berada di kisaran US$8.000/40″.

Ditambahkan, masalah kelangkaan dan naiknya harga kontainer dipastikan akan berdampak signifikan terhadap pengurangan jam operasional industri dan akhirnya berpengaruh pada pengurangan atau merumahkan tenaga kerja hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Untuk itu kami dari kalangan dunia usaha memohon kepada pemerintah untuk segera turun tangan menyelesaikan permasalahan ini dan bisa memberikan solusi untuk membantu ekaportir Indonesia,” ucap Irwandy.

Untuk proses ekspor tidak ada biaya demurrage, pelayaran akan release DO jika sudah confirm equipment dan space di kapal, kalaupun di pelabuhan transhipment di roll over. Sehingga biaya storage di transhipment port akan menjadi tanggung jawab pelayaran.

Saat ini kebanyakan pelayaran memberikan harga ocean freight per kapal (bukan lagi rate valid per bulan). Untuk mengulangi penimbunan full container di transhipment port beberapa pelayaran sudah melakukan stop booking untuk dest tertentu. (system buka tutup).

“Jika kenaikan rate sangat tinggi sekali dan seakan tak terkendali. Ini sangat menyulitkan dunia usaha,” tutup Sobur. (Muhammad Raya)

 

Related posts