Refleksi Akhir Tahun 2020 ALFI : Pandemi Covid-19 dan Optimisme Logistik 2021

Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki N Hanafi.

JAKARTA, MARITIM : Selama dekade 10 tahun terakhir (2008 s/d 2019), gejolak ekonomi dunia pada umumnya bersumber dari sektor keuangan, energi maupun perdagangan. Tetapi, gejolak ataupun krisis-krisis itu tidak begitu nyata menekan sisi permintaan dan penawaran (demand and supply).

Namun, dipenghujung 2019 atau memasuki awal 2020, hampir seluruh negara di dunia tersentak karena berhadapan dengan wabah corona virus (Covid-19), dimana gejolak ini bersumber dari sektor kesehatan dan melumpuhkan perekonomian karena menekan kinerja sisi demand and supply.

“Kondisi tersebut mengkhawatirkan karena perekonomian dunia belum berpengalaman menangani Covid-19,” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki N Hanafi.

Dia mengutarakan, di tengah persoalan kedaruratan kesehatan yang disebabkan Covid-19 tersebut, sejumlah negara di dunia termasuk Indonesia kini tetap mencanangkan optimisme dengan komitmen menerapkan protokol kesehatan agar perekonomian akan kembali membaik di masa-masa mendatang.

Bahkan, pihak dana moneter internasional (International Monetery Fund/IMF) melalui Worl Economic Outloook- nya pada medio Oktober 2020 telah merevisi pertumbuhan ekonomi dunia dari sebelumnya -5,5% menjadi -4,4% karena perjalanan perekonomian di tahun depan masih agak rumit (a long and difficult accent).

Sementara itu, kinerja ekonomi dunia pada tahun 2020, hanya Cina yang tumbuh positif sementara 5 negara Asean (Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia) masih negatif.

“Oleh karenanya kita harus optimistis dan berusaha sekuat tenaga secara bersama-sama agar pertumbuhan ekonomi di Indonesia mampu kembali bangkit pada tahun 2021,” ujar Yukki.

Anatomi Resesi

Yukki yang juga menjabat Chairman Asean Federation of Forwarders Association (AFFA) itu menjabarkan, bahwa secara teori, anatomi resesi yang diakibatkan Pandemi Covod-19 sangatlah berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya karena dampak yang ditimbulkan juga berbeda terutama terhadap sektor manufaktur.

Sementara itu, dari sisi keuangan perbankan, dana pihak ketiga di perbankan (BUMN dan Swasta) meningkat tajam, sementara kredit menurun. Hal ini menunjukkan kecenderungan berinvestasi menurun.

Kendati begitu, imbuhnya, tidak semua sektor mengalami penurunan akibat Pandemi Covid-19 di tahun 2020 itu. Adapun sektor yang justru mengalami pertumbuhan seperti sektor informasi dan tehnologi (IT), komunikasi, kesehatan dan pertanian. Bahkan sejak Agustus 2020, sektor-sektor tersebut justru alami pertumbuhan signifikan meskipun pada bulan-bulan sebelumnya sempat menghadapi tekanan imbas Covid-19.

“Imbas Covid-19 juga telah memengaruhi perilaku industri logistik dimana bacward and forward linkage sektor logistik kepada industri sangat kuat. Ini artinya, jika ada penurunan atau kenaikan aktivitas industri, maka aktivitas logistik akan mengalami penurunan atau kenaikan yang lebih besar,” ucap Yukki.

Daya Saing & Isue Strategis

Pada pertengahan Oktober 2020, telah ditandatangani Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) oleh 15 negara yang terdiri dari 10 negqra Asean ditambah Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru.

RCEP juga menyampaikan ukuran-ukuran ekonomi dari fakta ke 15 negara tersebut, antara lain; merepresentasikan 29,6% populasi dunia, 27,4% perdagangan dunia dan 30,2% PDB dunia serta 29,8% FDI dunia.

Dikatakan Yukki, hal tersebut menunjukkan market size yang sangat besar, termasuk oppurtunity yang juga besar, sehingga isue-isue mengenai daya saing menjadi keniscayaan.

Sementara itu, memasuki kwartal terakhir di tahun 2020, pebisnis logistik dan stakeholders dikejutkan dengan persoalan international shipment yang dipicu masalah kelangkaan peti kemas/kontainer.

Padahal selama ini, imbuhnya, international shipment sangat dipengaruhi oleh perdagangan dari dan ke USA. Sementara disisi lain, angkutan intra Asia dianggap kurang menguntungkan (shallow margin) sehingga secara urutan daya tarik angkutan adalah menuju USA, Eropa, baru kemudian Intra Asia.

Kelangkaan peti kemas juga dialami sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia yang disebabkan (salah satunya) akibat faktor menurunnya perdagangan global termasuk aktivitas ekspor USA mengakibatkan industri shipping global merasionalisasi biaya dengan melakukan pending shipment/omission.

Yukki memaparkan, persoalan tersebut semakin rumit, tatkala importasi oleh USA yang tidak diimbangi dengan kegiatan ekspornya, sehingga mengakibatkan peti kemas eks-impor tertahan di negara itu dan terjadi kelangkaan peti kemas secara global, termasul di Indonesia.

Disisi lain, wacana intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan peti kemas tersebut kurang efektif apabila menggunakan insentif karena memerlukan biaya besar.

“Pasalnya, kondisi semacam ini secara alami akan normal lagi pada saat perdagangan duna sudah pulih kembali sesuai mekanisme pasar,” kata Yukki.

Dia juga mengungkapkan, mahalnya angkutan untuk international shipment atau incompetitiveness angkutan dari dan ke Indonesia, cenderung dipengaruhi perilaku industri dan perdagangan Indonesia, dimana importasinya adalah heavy cargo yang menggunakan peti kemas berukuran 20 feet, sementara untuk ekspor umumnya menggunakan peti kemas 40 feet seperti pada pengapalan komoditi alas kaki, elektronik dan furniture.

Sehingga setiap kali kegiatan impor harus  merepo peti kemas 20 feet dan untuk keperluan ekspor harus mendatangkan peti kemas kosong 40 feet yang semuanya diperhitungkan dalam tarif angkut atau freight.

“Namun, di balik semua tantangan dan persoalan yang telah sama-sama kita hadapi di sepanjang tahun 2020, dapat diambil hikmahnya sebagai modal motivasi pelaku usaha khususnya di sektor logistik dalam melangkah pada tahun depan,” ucapnya.(Hbb)

Related posts