Berpacu Mengatasi Pengangguran di Jawa Barat

Rachmat Taufik Garsadi.

BANDUNG-MARITIM: Pandemi Covid-19 sangat berdampak pada sektor ketenagakerjaan di Jawa Barat. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di provinsi terpadat penduduknya ini pada posisi Agustus 2020 mencapai 10,46%, meningkat dibanding tahun sebelumnya (2019) sebesar 7,9%.

Angka pengangguran yang tercatat 2,53 juta orang pada 2020 ini menyebabkan Jabar menjadi provinsi tertinggi ketiga secara nasional setelah Provinsi DKI Jakarta dan Banten. Meningkatnya pengangguran ini disumbang oleh bertambahnya penganggur baru serta pekerja di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan dirumahkan sebagai dampak pandemi.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat Rachmat Taufik Garsadi mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun hingga 20 Oktober 2020, setidaknya ada 1.983 perusahaan yang terdampak akibat merebaknya wabah Corona yang masuk Indonesia sejak Februari 2020.

“Sampai akhir 2020, sebanyak 2001 perusahaan terdampak Covid dengan pekerja terdampak sebanyak 112.293 orang, baik yang di PHK maupun  dirumahkan,” jelasTaufik  ketika ngopi bareng wartawan yang tergabung dalam Forwaker (Forum Wartawan Ketenagakerjaan) di Bandung, Kamis (8/4/2021).

Menurut Taufik, masih banyak perusahaan lainnya yang juga terdampak Covid tapi belum melapor atau masih dalam proses pelaporan. Data terakhir (Maret 2021), tercatat 19.089 pekerja yang kena PHK di 460 perusahaan. Sedangkan pekerja yang dirumahkan mencapai 80.138 pekerja di 983 perusahaan.

“Jadi jumlah pekerja yang di PHK dan dirumahkan tercatat 99.227 orang,” katanya.

Untuk lebih akurat lagi, saat ini Disnaker di 27 kabupaten/kota masih melakukan pendataan dan mengkonfirmasi jumlah pekerja yang terdampak Covid bersama BPJS Ketenagakerjaan.

Dijelaskan, industri yang paling banyak melakukan PHK adalah sektor tekstil dan produk teksil mencapai 54, 15%. Peringkat kedua sektor industri yang paling banyak mem-PHK adalah manufaktur 23,80%.

Optimalkan BLK

Untuk menekan pengangguran, lanjut Taufik, salah satu solusinya adalah mengoptimalkan  Balai Latihan Kerja (BLK) yang dimiliki Pemprov Jawa Barat yang operasionalnya dilakukan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Antara lain BLK Pekerja Migran Indonesia dan BLK Mandiri (keduanya di Bandung), serta BLK Kompetensi di Bekasi.

BLK berperan mencetak para pencari kerja/penganggur menjadi individu yang kompeten di bidangnya. Sehingga mampu bersaing untuk mendapatkan kesempatan kerja atau menjadi pekerja mandiri. Setelah dilatih sesuai kompetensi yang diminati, mereka nantinya akan mendapat sertifikat kelulusan dari BLK dan sertifikat kompetensi dari LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) sebagai bekal untuk bekerja.

Pemprov Jabar yang terdiri dari 27 Pemerintah Kabupaten/Kota  berupaya keras dan berpacu mengatasi pengangguran. Namun sayangnya belum semua kabupaten/kota memiliki BLK. “Saat ini baru 18 kabupaten/kota yang memiliki BLK,” ujarnya tanpa menyebut secara rinci.

Namun sejak terjadi pandemi (2020), anggaran untuk pelatihan di semua BLK dipangkas, sehingga jumlah siswa yang dilatih jauh dari target. Sebagai contoh, BLK Mandiri tahun 2019 melatih 900 orang. Tapi tahun 2020 turun menjadi 680 dan tahun 2021 hanya akan melatih 360 orang dalam 12 angkatan.

Praktik siswa di BLK Kompetensi untuk kejuruan Otomasi Elektronika Industri.

“Satu angkatan hanya diikuti 30 orang. Pelatihan mungkin akan selesai sampai Oktober 2021, karena tiap angkatan hanya butuh pelatihan 4 hari,” kata Rina Puspita Nurhayati yang ikut mendampingi Taufik.

Rendahnya anggaran pelatihan, menurut Taufik, menyebabkan BLK tidak bisa optimal melaksanakan pelatihan. Ia berharap selain dari APBD, BLK di Jabar juga bisa mendapat tambahan anggaran dari APBN. Maksudnya dari Kemnaker, sekaligus penambahan instruktur yang juga jauh dari cukup.

Sebelumnya, Sekretaris Disnakertrans Jabar Agus E. Hanafiah juga menyebutkan tingginya angka pengangguran di Jawa Barat. Pengangguran tertinggi di Bogor dan disusul Kab/Kota Bandung. Masalahnya, pertambahan angkatan kerja yang tinggi tidak disertai dengan pertambahan kesempatan  kerja yang memadai.

“Masalah pengangguran di Jawa Barat sangat luar biasa sehingga tak bisa diselesaikan dengan cara biasa, tapi harus dilakukan melalui kolaborasi dan inovasi. Antara lain melalui Job Fair secara online,” tuturnya.

Sebagai contoh, berdasarkan tingkat pendidikan pengangguran tertinggi adalah lulusan SMK (18,8%), padahal lulusan SMK telah diprogram untuk bekerja. Disusul lulusan SMA (13,8%), lulusan SMP (10,7%) dan perguruan tinggi (10,2%).

“Masalah pengangguran ini bukan hanya tanggung jawab Disnakertrans, tapi menjadi tanggungjawab bersama dan harus diselesaikan secara lintas sektoral,” sambung Agus.

BLK Kompetensi

Dalam upaya menangani pengangguran, UPTD BLK Kompetensi Bekasi tetap eksis dan diminati pencari kerja. Setiap tahun rata-rata melatih 800 orang lulusan  SMK/SMA dalam 8 kejuruan dengan 11 orang instruktur.

Kepala BLK Kompetensi Bekasi Ma’mur Rizal menjelaskan, sejak tahun 2018-2020 pihaknya menghasilkan 1.968 lulusan dan 1.013 di antaranya telah bekerja.

Dalam masa pandemi 2020, pelatihan di BLK ini menurun drastis, bahkan tidak mendapat anggaran dari APBD Jabar. Tapi mendapat anggaran dari APBN (Kemnaker) untuk melatih 240 orang. Dari jumlah ini, 124 orang di antaranya melapor sudah bekerja.

“Masih banyak lulusan BLK yang belum melapor sudah bekerja atau belum,” ujarnya.

Untuk tahun 2021 ini, BLK Kompetensi Bekasi akan melatih 464 siswa lulusan SMK/SMA yang berusia 18-24 tahun dalam 8 kejuruan. Tiap angkatan diikuti 16 orang untuk pelatihan sekitar 2 bulan.

BLK Kompetensi Bekasi merupakan kunjungan terakhir Press Tour dua hari dari wartawan yang tergabung dalam Forwaker, sekaligus perjalanan kembali ke Jakarta. (Purwanto).

 

Related posts