JAKARTA-MARITIM: Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan aturan yang mengatur hubungan kerja di masa pandemi Covid-19, khususnya di masa Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI (Kepmenaker) Nomor 104 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Hubungan Kerja Selama Masa Pandemi Covid-19.
“Kepmenaker ini sebagai wujud respons Kementerian Ketenagakerjaan terhadap adanya dampak pandemi dalam hubungan kerja,” kata Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, di Jakarta, Senin (16/8).
Menurut Menaker, pandemi adalah masalah bersama bagi pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh. Sehingga, penanganan dampak pandemi ini membutuhkan komitmen dan kerja sama semua pihak.
“Oleh karena itu, dalam Kepmenaker ini kita tekankan pentingnya dialog sosial, karena kita ingin semua pihak benar-benar terlindungi dari dampak pandemi,” sambungnya.
Mencegah PHK
Secara rinci, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri menjelaskan, Kepmenaker No.104 Tahun 2021 mencakup 3 hal. Pertama, pelaksanaan sistem kerja dari rumah atau Work From Home (WFH) dan bekerja di kantor/tempat kerja atau Work From Office (WFO). Kedua, pelaksanaan upah dan hak-hak pekerja lainnya.
“Dalam Kepmenaker tersebut terdapat acuan atau pedoman bagi pengusaha dan pekerja. Pengusaha yang memberlakukan sistem kerja WFH tetap wajib membayar upah,” kata Dirjen.
Untuk WFO, harus diatur persentase karyawan yang bekerja di kantor, serta pengaturan shifting atau pembagian waktu kerja dan hari kerja dalam satu bulan secara bergiliran.
“Jam kerja juga diatur dengan sebaik-baiknya dengan mengutamakan pekerja yang sehat. Bagi ibu hamil atau yang rentan sakit agar bekerja dari rumah saja,” ujar Putri.
Dalam Kepmenaker No. 104 Tahun 2021 ini juga dijelaskan mengenai perusahaan yang terpaksa merumahkan pekerja karena dampak pandemi. Namun, pekerja/buruh tetap berhak atas gaji saat dirumahkan.
“Perusahaan yang secara finansial tidak mampu membayar upah, maka pengusaha dan pekerja dapat membuat kesepakatan penyesuaian upah,” terangnya.
Sedangkan perhitungan iuran manfaat jaminan sosial bagi pekerja, pesangon, dan hak-hak lain bagi pekerja yang dihitungkan dengan upah, maka harus mengacu kepada upah sebelum penyesuaian.
Ruang lingkup ketiga yang diatur dalam Kepmenaker 104 Tahun 2021, lanjut Dirjen adalah pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ditegaskan dalam Kepmenaker ini, PHK adalah jalan terakhir dan satu-satunya yang bisa diambil jika pandemi Covid-19 berdampak terhadap keberlangsungan usaha.
“Tetapi PHK harus jalan paling akhir kalau sudah dilakukan upaya-upaya lain kemudian tidak ada jalan lain kecuali terpaksa PHK. Namun harus dilakukan melalui keputusan bersama antara pengusaha dan pekerja,” tegasnya.
Dirjen menekankan, jika PHK terpaksa dilakukan karena ketidakmampuan finansial perusahaan, maka harus dibuktikan dengan laporan finansial perusahaan bahwa perusahan tersebut benar-benar tidak mampu.
“Dalam dialog bipartit yang akan memutusan PHK harus melibatkan dinas ketenagakerjaan setempat. Dan jangan lupa hak-hak pekerja harus tetap diberikan walaupun perusahaan itu bangkrut,” pungkasnya. (Purwanto).