Keputusan MK Soal UU Cipta Kerja Tak Pengaruhi Pelaksanaan Upah Minimum 2022

JAKARTA-MARITIM: Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan UU Cipta Kerja harus direvisi paling lama dua tahun tidak mempengaruhi kebijakan tentang pengupahan, termasuk pelaksanaan Upah Minimum 2022. Pasalnya, seluruh materi dan substansi serta aturan sepenuhnya tetap berlaku, tanpa ada satu pasal pun yang dibatalkan oleh MK.

“Atas dasar itu, berbagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang telah ada saat ini, termasuk pengaturan tentang pengupahan, masih tetap berlaku,” tegas Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah melaui siaran pers Biro Humas Kemnaker, Kamis (2/12/2021).

Read More

Menaker mengatakan, peraturan pelaksanaan klaster ketenagakerjaan yang menjadi mandat UU Cipta Kerja telah selesai dan diterbitkan sebelum putusan MK diumumkan. Alhasil, proses pengambilan kebijakan ketenagakerjaan saat ini harus tunduk pada aturan tersebut, tidak terkecuali mengenai pengupahan.

“Oleh karenanya, saya kembali meminta kepada semua pihak, khususnya para kepala daerah, untuk mengikuti ketentuan pengupahan sebagaimana diatur dalam PP 36/2021. Saya juga mengingatkan bahwa dalam PP (Peraturan Pemerintah) tersebut tidak hanya mengatur tentang Upah Minimum (UM), tetapi juga terkandung aturan struktur dan skala upah yang harus diimplementasikan oleh pengusaha”, tandasnya.

Terkait dengan UM, lanjut Ida, merupakan instrumen jaring pengaman bagi pekerja/buruh yang tidak boleh upah/gajinya dibayarkan di bawah nilai UM yang berlaku pada satu wilayah. UM juga hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja maksimal 12 bulan.

Dalam pelaksanaannya, UM tingkat provinsi (UMP) ditetapkan oleh Gubernur setiap tahunnya. Gubernur juga dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dengan catatan rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota dalam 3 tahun terakhir lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi. Artinya, nilai pertumbuhan ekonomi dikurangi inflasi kabupaten/kota yang bersangkutan selama 3 tahun terakhir selalu positif dan lebih tinggi dari provinsi.

Selanjutnya, dalam penetapan UMK Gubernur dapat meminta pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi. UMK tersebut ditetapkan setelah UMP ditetapkan dan harus lebih tinggi dari UMP. Jika syarat tidak terpenuhi, maka Gubernur tidak dapat menetapkan UMK.

“Formula UMP dan UMK pada PP 36/2021 ditujukan agar kesenjangan upah minimum antar wilayah, baik antar provinsi maupun antar kabupaten/kota, tidak semakin melebar. Kita optimis dengan mengatasi jurang kesenjangan ini, daya saing akan meningkat, iklim investasi dan dunia usaha kian bergairah yang berdampak pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Ujungnya, tentu kembali pada peningkatan kesejahteraan masyarakat,” katanya.

Di sisi lain, Menaker menegaskan, mediator hubungan industrial dan pengawas ketenagakerjaan berkomitmen dalam mengawal pelaksanaan UM 2022 maupun penerapan Struktur Skala Upah (SUSU) di perusahaan. Mediator akan membantu serta memfasilitasi penyusunan SUSU, sedangkan Pengawas harus siap melakukan monitoring dan penegakan hukum, khususnya di bidang pengupahan.

“Saya telah menginstruksikan agar Mediator dan Pengawas Ketenagakerjaan siap siaga membantu dan mengawasi pelaksanaan UM 2022 serta penerapan SUSU. Jika ditemukan pelanggaran, saya meminta para kepala daerah untuk ikut tegas dalam menindaklanjuti hasil pemeriksaan pengawas ketenagakerjaan di daerah. Mari kita bersama-sama ciptakan ekosistem upah yang berkeadilan,” tuturnya.  (Purwanto).

 

Related posts