BANDUNG–MARITIM : Rendahnya tingkat literasi keuangan yang masih sangat rendah. menjadi faktor terjebaknya masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas jasa keuangan, diantaranya pinjaman online, perbankan dan asuransi. Ketidaktahuan akan hal-hal yang berkaitan dengan layanan jasa keuangan, memunculkan berbagai kasus, seperti pinjaman dengan bunga tinggi dan ketidakjelasan hak dan kewajiban antara pelaku layanan jasa keuangan dengan nasabah.
Hal tersebut diakui Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara, dalam pelatihan dan media gathering wartawan, akhir pekan lalu di Bandung.
Selain hal tersebut kata Tirta, ini juga tercermin dari minimnya jumlah keikutsertaan masyarakat dalam berbagai produk jasa keuangan, program pensiun penduduk dewasa misalnya. Padahal, program pensiun produk industri keuangan sangat penting agar diikuti penduduk dewasa. Tujuannya, agar tidak membebani ahli waris pada masa mendatang. Ironisnya, program investasi hari tua ini, hanya enam persen masyarakat dewasa Indonesia yang mengikutinya.
Tidak hanya itu, menurut Tirta, hal-hal yang menjadi rahasia nasabah pun masih banyak masyarakat yang belum memahaminya. Padahal kerahasian itu sangat penting bagi nasabah, seperti nomor Personal Ide tification Number (PIN). Contohnya kasus penerima bantuan sosial (bansos) non tunai dalam bentuk kartu, masyarakat di daerah masih mengubar PIN yang seharusnya hanya dia yang mengetahuinya. Juga masih banyak masyarakat penerima bansos yang tidak paham dengan digitalisasi. “Mereka menerima kartu bansos non tunai dan nomor PIN nya untuk ambil sembako di warung. Karena bansosnya ambilnya tidak tiap bulan, mereka takut lupa jadi PIN dicatat diatas kartunya dan diserahkan kepada orang lain. Inikan rahasia yang hanya bisa diketahui sama pemilik.
Dari beberapa contoh dan banyak lagi contoh yang lain, Tirta mengaku, karena inklusi dan literasi keuangan sangat rendah. Sesuai data, inklusi keuangan masyarakat Indonesia sudah mencapai 76 persen. Namun untuk literasi baru 38 persen. Menunjukan bahwa dua-duanya masih rendah, dimana literasi keuangan itu masih kurang dari 50 persen dari inklusi. Maksudnya, orang dewasa yang sudah berhubungan dengan jasa keuangan76 persen, tapi tingkat literasi atau kesanggupan baru mencapi 38 persen.
Sementara bicara soal digitalisasi, Tirta pun mengaku, literasi masih sangat rendah yaitu baru 36 persen. Disatu sisi, saat ini umumnya layanan jasa keuangan secara digital. Sementara masyarakat masih belum memanfaatkan keuangan digital secara maksimal, karena belum memahami secara baik akan layanan digitalisasi jasa keuangan dimaksud. Hal ini menimbulkan tekanan dan tantangan tersendiri, yang harus diselesaikan OJK sebagai lembaga yang mengatur, mengawasi dan melindungi masyarakat yang mengakses produk-produk jasa keuangan.
Melihat kondisi yang ada, menueut Tirta, OJK terus mendorong tingkat inklusi dan literasi keuangan melalui salah satunya langkah preventif. Ini diantaranya melakukan edukasi atau kiterasi keuangan dan literasi digital.”Kemudian kami akan masuk pada penanganan pengaduan,”tutur Tirta seraya menambahkan, sesuai di Undang-Undang OJK diwajibkan melakukan pelayanan, mulai dari kontak center proses untuk mempertemukan konsumen dengan pelaku usaha keuangan, yang penyelesaiannya diatue secara internal.
“Pastinya dalam perjalanan, peningkatan literasi dan inklusi keuangan, OJK pun tetap melakukan pengawasan,” tutur Tirta.
Pengawasan ini kata Tirta, dikajukan OJK sejak dari diluncurkannya produk, iklan misalnya. Ini berkaitan dengan market conduck yang fokus pada perilaku pasar. Ini diawasi mulai dari iklan produk hingga penyedia layanan kepada konsumen dan kontraknya. Termasuk pinjaman yang kecil, kemudian diperusahaan pembiayaan yang disebut leasing.
“Pastinya, ditengah minimnya literasi dan inklusi keuangan, perbaikan dan penanganan terus dilakukan, mengingat perkembangan teknologi layanan jasa keuangan yang terus berkembang,”tanda Tirta Segara. (Rabiatun)