JAKARTA-MARITIM : Untuk pertama kali dalam 40 tahun terjadi penandatanganan kerja sama industri mebel dan kerajinan, yang diwakili Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) dengan asosiasi industri penggergajian kayu, atau Indonesia Sawmill and Woodworking Asociation (ISWA).
Penandatanganan diwakili Ketua Presidium HIMKI, Abdul Sobur, dan Ketua Presidium ISWA, Wiradadi, menandai era baru dalam mata rantai industri pengolaha kayu dan mebel Indonesia, di Solo, Jawa Tengah, kemarin.
Menurut Sobur, sudah saatnya industri berbagi tugas sesuai kompetensinya. Ia melihat industri serupa di China sangat efisien karena pembagian kerja seperti ini.
“Industri sawmill dan industri komponen menyiapkan material dan komponen yang dibutuhkan industri down stream sesuai order. Ini akan mendorong industri mebel dan kerajinan lebih fokus di processing,” katanya.
Industri mebel dan kerajinan seperti HIMKI, sambungnya, tidak punya kompetensi dalam penggergajian dan pembahanan. Sedangkan anggota ISWA tidak memiliki kompetensi dalam processing.
“Hanya dengan berbagi tugas, maka akan ada potensi untuk lebih efisien, karena masing-masing industri melakukan tugasnya sesuai dengan kompetensinya,” ujar Sobur.
Penandatanganan kedua belah pihak juga melibatkan Perum Perhutani dan Inhutani, pada acara Focus Group Discussion (FGD), yang juga melibatkan seluruh stakeholder termasuk instansi pemerintah seperti Kemen LHK, Kemenperin dan Kemendag.
Kegiatan FGD ini fokus pada penguatan bahan baku, sebagai kelanjutan acara sebelumnya, yang telah digelar di Semarang, Jawa Tengah, pada pertengahan Agustus 2022. Hasilnya, melahirkan sejumlah keputusan di antaranya perlu ide dan inisiatif HIMKI mengedepankan Program Menanam Kembali dan menggandeng pihak Perum Perhutani dan Inhutani I, termasuk swasta.
“Ini merupakan langkah membentuk kesepahaman atas persoalan ketersediaan bahan baku. Karena sampai hari ini ada persoalan serius dengan kebutuhan bahan baku perkayuan sebesar 7 hingga 8 juta ton. Tidak semua bisa dipenuhi oleh Perhutani dan Inhutani. Sebagian dipenuhi dari bahan baku impor,” jelas Ketua Presidium HIMKI, Abdul Sobur.
Untuk mencapai target nilai ekspor US$5 miliar, HIMKI telah memprediksi kebutuhan material sebesar 12 juta ton, di mana Perhutani hanya bisa memenuhi kebutuhan sebesar 10%. Sementara Inhutani hanya bisa memenuhi 5% dari kebutuhan. Sehingga diperkirakan akan ada bahan baku impor yang pangsa pasarnya mencapai 20%.
Tidak hanya persoalan kuantitas, Sobur juga mengkuatirkan turunnya kualitas bahan baku yang dihasilkan Perhutani, seperti yang diakui Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perum Perhutani, Endung Trihartaka. Ia menyebutkan, pihaknya akan kian banyak kayu jati dengan grade A1 dibandingkan sebelumnya. (Muhammad Raya)