SURABAYA – MARITIM : Sejak dilaksanakan merger pada 1 Oktober 2021, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepelabuhanan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) telah mencatat penghematan biaya sedikitnya sebesar Rp500 miliar. Hal itu didapat antara lain dari optimalisasi aset subholding PT Terminal Petikemas (SPTP).
Widyaswendra, Corporate Secretary SPTP dalam keterangannya kepada awak media termasuk tabloidmaritim.com di Surabaya, mengatakan, nilai penghematan itu didapat dari sejumlah relokasi peralatan pendukung kepelabuhanan yang dilakukan SPTP, dalam rangka memenuhi kebutuhan minimal peralatan di terminal peti kemas.
Lebh jauh, Wendra, panggilan akrabnya, mengatakan, hingga September 2022 SPTP telah merelokasi 3 unit alat angkat petikemas di atas dermaga (quay container crane/QCC), 4 unit alat angkat petikemas di lapangan penumpukan (rubber tyred gantry/RTG).
“Optimalisasi aset ini dilakukan untuk mendukung standardisasi terminal petikemas dengan cara memenuhi kebutuhan minimum peralatan, ketimbang jika harus melakukan pembelian baru melalui pengadaan yang membutuhkan biaya besar dan waktu yang tidak sedikit,” kata Wendra pula.
Disebutkan, nilai alat baru unutuk jenis QCC berkisar antara Rp140 milliar hingga Rp160 milliar per unit. Sementara untuk jenis RTG berkisar antara Rp40 milliar hingga 50 milliar. Sedangkan untuk rencana jumlah aset yang akan dioptimalkan oleh SPTP hingga tahun 2025 mencapai 99 peralatan, dan direlokasi ke sejumlah terminal petikemas di seluruh wilayah kerja perusahaan.
Ujar Wendra pula: “Selain QCC dan RTG juga ada alat angkat dan angkut peti kemas lainnya yang akan dioptimalkan, tentunya disesuaikan dengan terminal yang akan dituju terutama infrastruktur seperti dermaga dan lapangan penumpukan,”.
Terkait denan kebijakan tersebut, Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi bahwa fihaknya sangat mengapresiasi langkah Pelindo untuk melakukan relokasi sejumlah peralatan utama dan pendukung kegiatan terminal petikemas. Menurytnya, hal ini, untuk memberikan solusi terhadap kondisi ketimpangan yang selama ini terjadi antara terminal petikemas di wilayah barat dengan wilayah timur di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena sejumlah terminal petikemas di Kawasan Timur Indonesia belum didukung dengan peralatan yang memadai. Akibatnya, kinerja bongkar muat di sejumlah terminal masih belum maksimal.
Menurut Siswanto, selain sejumlah program perbaikan dan peningkatan kompetensi petugas operasional, peralatan juga menjadi hal penting dalam meningkatkan kinerja terminal petikemas.
“Dengan kinerja bongkar muat yang baik, maka waktu kapal berada di terminal peti kemas (port stay) menjadi lebih cepat, sehingga mereka dapat segera berlayar dan diharapkan dapat menambah jumlah kunjungan kapal (turn round voyage/TRT),” kata Siswanto menutup penjelasan. ** Erick Arhadita