JAKARTA-MARITIM : Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) mendesak Bea dan Cukai serta lembaga surveyor agar meloloskan perizinan ekspor batu koral gunung, guna meningkatkan kinerja UKM ekspor.
“Instansi kepabeanan perlu menyederhanakan aturan terkait ekspor komoditas non-olahan tersebut, di antaranya batu koral gunung, yang potensinya di berbagai daerah di dalam negeri cukup besar,” kata Ketua Umum DPP GPEI, Benny Sutrisno, di Jakarta, Rabu (1/3).
Menurutnya, batu koral gunung banyak dibutuhkan oleh negara-negara di Eropa, untuk menghias taman (garden stone). Apalagi, daya saingĀ batu koral Indonesia di pasar internasional cukup kuat, di mana kegiatan ekspornya bisa ditangani pelaku usaha kecil menengah (UKM).
“Pelaku UKM ekspor di Tulungagung, Jawa Timur, tidak mendapatkan izin ekspor batu koral gunung dari Bea dan Cukai serta lembaga surveyor. Alasannya, karena dinilai sebagai raw material, sehingga tidak bisa memenuhi permintaan buyer. Kebijakan seperti ini bisa menghambat ekspor, di tengah upaya pemerintah menggenjot perolehan devisa,” ujarnya.
Hal itu terungkap saat Benny Sutrisno mengunjungi sejumlah UKM ekspor di Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kunjungan tersebut juga melibatkan Dewan Pemakai Angkutan Indonesia (Depalindo), untuk mendapatkan masukan tentang kendala ekspor yang tengah dihadapi oleh para pelaku UKM.
Salah satu pelaku UKM ekspor yang dikunjungi pihak GPEI dan Depalindo, adalah usaha kerajinan batu Petrified Wood Art Craft, yang berlokasi di Boyolangu, Kabupaten Tulungagung, Jatim. UKM tersebut memproduksi wastafel, meja, dan aneka jenis produk lainnya berbahan baku batu fosil dan batu gunung, yang diorientasikan untuk pasar ekspor, dengan tujuan negara-negara Eropa. Di mana kegiatan ekspor tersebut telah dilakukan bertahun-tahun.
Nanang Setiawan, pemilik Petrified Wood Art Craft, menyebutkan mitra bisnisnya di Eropa juga membutuhkan batu koral gunung, untuk penghias taman. Bongkahan batu jenis itu bentuknya cukup unik, dengan banyak lubang, dan banyak ditemukan di perbukitan maupun gunung di Pulau Jawa.
“Kami tidak mendapatkan izin ekspor batu koral gunung dari Bea dan Cukai, karena dianggap raw material. Lembaga surveyor pun tidak memberikan dokumen laporan surveyor (LS). Kami diminta memproses terlebih dulu, padahal permintaan buyer, adalah batu koral yang natural/tanpa prosesan. Sedangkan batu koral gunung tersebut banyak permintaannya dari Yunani, Portugal, dan Spanyol,” paparnya.
Nanang menjelaskan, batu koral gunung itu saat ditambang berwarna hitam lantas diproses dengan HCl, sehingga berubah menjadi putih. Batu tersebut tidak bisa digunakan sebagai bahan bangunan, dan perlu diambil/ditambang, agar arealnya bisa digarap oleh petani untuk ditanami palawija atau padi.
Benny menilai, gencarnya para pelaku ekspor mencari pasar di berbagai negara, kenyataannya tidak diimbangi oleh aturan yang memudahkan bagi para eksportir. Terutama bagi instansi yang berwenang dalam menerbitkan dokumen ekspor.
“Pelarangan ekspor batu koral gunung sungguh tidak tepat. Lalu apa bedanya batu koral dengan batubara? Batubara juga tanpa diproses, tapi boleh diekspor secara gencar, kenapa batu koral gunung tidak boleh?” tandasnya. (Muhammad Raya)