Oleh Capt. Zaenal Arifin Hasibuan
Praktisi Industri Maritim/Pelayaran
JAKARTA-MARITIM : Dalam berbagai tulisan beberapa tahun silam, penulis sering menyampaikan pendapat bahwa Indonesia butuh Menteri Maritim, seperti di zaman Orde Lama. Lembaga negara yang mengurusi seluruh kegiatan maritim dan langsung bertanggung jawab pada presiden dan berkoordinasi dengan kementerian lainnya yang berkaitan kegiatan maritim, seperti Kementerian Perindustrian, Perdagangan, Keuangan, Ekonomi, Luar Negeri dan lain sebagainya.
Jika tetap menggunakan tatanan negara seperti saat ini, maka urusan maritim yang sangat luas hanya ada di bawah komando seorang Dirjen Perhubungan laut, yang masih harus melapor pada Menteri Perhubungan. Bagaimana jika Menteri Perhubungannya sedang sibuk dengan urusan kereta cepat, atau urusan truk ODOL, jembatan timbang, jalan tol, atau tutupnya Merpati Nusantara Airlines dan mundurnya Susi Air dari Papua? Apakah ada waktu untuk fokus memikirkan maritim Indonesia yang luasnya lebih besar dari Eropa Barat? Mari berfikir rasionalis.
Pembentukan Kementerian Maritim/Kementerian Perhubungan Laut, yang berlandaskan hukum, akan memuluskan tujuan negara ke arah kesejahteraan nasional. Harus disepakati bahwa Poros Maritim Dunia dan Tol Laut, adalah program yang tujuan akhirnya mensejahterakan masyarakat Indonesia, dengan cara memaksimalkan potensi maritim dalam sebuah kegiatan yang tertata dan berlandaskan hukum.
Jika ditinjau dari asas hukum, maka hukum maritim bisa dirangkum dan dijelaskan sebagai berikut : menurut kamus hukum Black’s Law Dictionary, bahwa maritime law itu adalah the body of law governing marine commerce and navigation, the transportation of persons and property and marine affairs in general; the rules governing contract, tort and workers’ compensation claims arising out of commerce on or over water. Also termed *admiralty law* (Black’s Law Dictionary, Seventh Edtion/Bryan A. Garner, Editor In Chief halaman 982). Bahwa dalam pengertian ini tidak termasuk hukum laut dalam arti The Law of the Sea.
Jadi, hukum maritim adalah hukum yang mengatur pelayaran dalam arti pengangkutan barang dan orang melalui laut, kegiatan kenavigasian, dan perkapalan sebagai sarana/moda transportasi laut. Termasuk aspek keselamatan maupun kegiatan yang terkait langsung dengan perdagangan melalui laut yang diatur dalam hukum perdata/dagang maupun yang diatur dalam hukum publik.
Yang terkait laut, dalam ranah hukum kemaritiman itu antara lain dapat dibedakan menjadi 2 batasan ;
- Subyek Hukum Maritim, yaitu Manusia (Natuurlijke persoon) terdiri 1. Nakhoda kapal (Ship’s Master), 2. Awak kapal (Crew’s), 3. Pengusaha kapal (Ship’s operator), 4. Pemilik kapal (Ship’s owner), 5. Pemilik muatan (Cargo owner), 6. Pengirim muatan (Cargo shipper), 7. Penumpang kapal (Ship’s passangers).
Badan hukum (Recht persoon) – 8. Perusahaan Pelayaran (Shipping company), 9. Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), 10. International Maritime Organization (IMO), 11. Ditjen Perhubungan Laut, 12. Administrator Pelabuhan, 13. Kesyahbandaran, 14. Biro Klasifikasi.
- Obyek Hukum Maritim, Benda berwujud meliputi : 1. Kapal (dalam arti luas), 2. Perlengkapan kapal, 3. Muatan kapal, 4. Tumpahan minyak dilaut, 5. Sampah dilaut. Benda tak berwujud meliputi : 6. Perjanjian-perjanjian, 7. Kesepakatan-kesepakatan, 8. Surat Kuasa, 9. Perintah lisan. Benda bergerak : 10. Perlengkapan kapal, 11. Muatan kapal, 12. Tumpahan minyak di laut, 13. Galangan kapal.
Maka jika di total ada 25 subjek dan objek maritim berdasarkan Maritime Law (muatan kapal dan perlengkapan kapal disebut 2 kali).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa penggunaan kata maritim adalah hal-hal yang menyangkut dengan transportasi laut atau pengangkutan laut untuk meningkatkan perekonomian.
Untuk menjadi Negara Maritim maka subjek dan obyek yang harus dibangun mau tidak mau adalah hal-hal yang termasuk dalam hukum maritim, misalnya pembangunan kapal dan perlengkapannya, perusahaan pelayaran dan membangun industri di pulau-pulau sebagai bagian dari sistem tersebut.
Pembangunan yang paling awal adalah pentingnya pemerintah membuat kebijakan (payung hukum) yang memudahkan kegiatan tersebut bisa berlangsung dengan efisien dan tertata. Kemudian diikuti penguatan SDM yang akan menjadi nakhoda, awak kapal, SDM yang akan ada di perusahaan kapal, operator kapal, SDM yang mengurus Hubla, IMO, Kesyahbandaran, Badan Klasifikasi dan pos-pos lainnya.
Selanjutnya pemerintah harus jeli, apa yang menyebabkan (faktor terkuat) munculnya 25 subjek dan objek hukum maritim di atas? Semua hal itu muncul karena adanya sebuah kegiatan yang merupakan cikal bakal terminologi maritim ; Pelaut melayarkan kapal membawa muatan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain.
Indonesia punya banyak pelaut, punya banyak muatan, punya banyak pelabuhan, tapi apakah Indonesia punya banyak kapal? Negara ini beruntung memiliki laut-laut yang menghubungkan pulau-pulaunya sehingga bisa dilayari kapal. Seandainya dari Sabang sampai Marauke hanya terdiri dari daratan, maka kita butuh 1.000 tahun lagi untuk bisa pergi membawa barang dalam jumlah besar dari kota Medan ke kota Sorong.
Jika di daratan kita membutuhkan jalan raya sebagai infrastruktur, lalu apakah di laut kita tidak butuh kapal sebagai infrastruktur? Apa susahnya menggolongkan kapal sebagai bagian dari infrastruktur negara kepulauan Republik Indonesia agar perbankan mudah membiayai projek infrastruktur negara kepulauan. Tuhan memberikan tanah yang masih harus diubah menjadi jalan raya agar dapat dilalui kendaraan, maka jalan raya dianggap infrastruktur. Tuhan juga menganugerahkan kita laut, bahkan tidak harus dibuat jalur-jalur apalagi seperti di jalan raya. Lalu apa yang mau dikategorikan sebagai infrastruktur di sektor ini?
Seorang Dirjen Hubla atau seorang Menteri Perhubungan tidak punya banyak waktu dan otorisasi untuk memikirkan hal fundamental seperti itu. Indonesia butuh Menteri Maritim jika ingin sejahtera seperti cita-cita bapak pendiri bangsa ini. (Muhammad Raya)