BANDUNG-MARITIM: Memasuki era society 5.0 diprediksi pasar kerja akan semakin kompetitif dengan melimpahnya SDM menjelang bonus demografi 2045. Untuk itu, diperlukan strategi khusus untuk mengatasi kekhawatiran kurangnya lapangan kerja, ketidakpastian persaingan kerja hingga persiapan memasuki usia penduduk tua.
“Perguruan tinggi memiliki peran penting dalam upaya mengatasi masalah ketenagakerjaan, karena konsekuensi setelah lulus perkuliahan adalah masuk ke dunia kerja, ” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi saat memberikan kuliah umum bertema ‘Tantangan dan Kebijakan Ketenagakerjaan dalam Dunia Kerja Modern’ di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/12/2023).
Anwar Sanusi menyarankan perguruan tinggi untuk memastikan program pendidikannya telah mencakup mata kuliah dan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja. Selain itu, juga selalu menghadirkan dosen berpengalaman dan praktisi industri sebagai pengajar tamu untuk memberikan wawasan praktis kepada mahasiswa dan alumni.
Anwar juga minta perguruan tinggi bekerja sama dengan perusahaan dan organisasi di sekitarnya untuk menyediakan kesempatan magang dan pekerjaan bagi mahasiswa serta alumni. Perguruan tinggi juga diminta memberikan pelatihan keterampilan tambahan seperti soft skill komunikasi, kepemimpinan, dan kolaborasi tim kepada mahasiswa dan alumni.
“Selain itu, menyediakan forum atau acara jaringan alumni yang memungkinkan mahasiswa dan alumni untuk terhubung satu sama lain maupun dengan profesional yang berpengalaman sehingga dapat memberikan peluang kerja, mentorship, dan dukungan dalam membangun karir, ” katanya.
Anwar Sanusi mengungkapkan sebanyak 1,8 juta lulusan SMA/SMK/MA setiap tahun tak tertampung perguruan tinggi dan masuk ke pasar kerja.
Pola permintaan tenaga kerja di masa depan memiliki dua pola. Pertama, semua pekerjaan akan bersentuhan dengan pemanfaatan teknologi (hardskill digital). Kedua, dari sisi softskill, kemampuan analitis, orientasi pemecahan masalah, kreativitas, dan komunikasi sangat diperlukan.
“Namun demikian, keterampilan digital yang dimiliki tenaga kerja Indonesia masih bersifat teoritis dan umum, sehingga terjadi kesenjangan dari sisi suplly dan demand, ” ujarnya. (Purwanto).