JAKARTA-MARITIM: Konsorsium Perusahaan Pengawakan Kapal atau CIMA (Consortium of Indonesian Manning Agencies) mengadakan halal bihalal dengan seluruh anggotanya yang kini telah berkembang menjadi 70 perusahaan. Acara tersebut berlangsung di Grand Orchardz Hotel Rajawali Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (30/4/2024).
Halal bihalal merupakan ajang silaturahmi pengurus dan seluruh anggota CIMA. Sekaligus untuk meningkatkan kesatuan dan kekompakan pengurus dan anggota CIMA dalam upaya memajukan usaha perusahaan pengawakan kapal, baik di dalam maupun di luar negeri.
Dalam laporannya, Ketua Panitia Halal Bihalal 2024, Putri Eva Mayangsari, S.Kesos, M.Ed mengatakan, melalui pertemuan ini juga dilakukan dialog interaktif antar pengurus CIMA dengan para anggota untuk mengatasi dan menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi. Masalah menonjol yang dibahas adalah terkait kesehatan pelaut yang sertifikatnya berbeda dengan fakta sebenarnya, serta pelaut yang kabur dari kapal (jumping ship) tanpa pemberitahuan kepada pihak berwenang dan manajemen kapal.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum CIMA Dr. (C) Gatot Cahyo Sudewo, SE, MM Tr. menyatakan, CIMA semakin menarik perhatian dan diperhitungkan oleh pemerintah maupun pihak terkait lainnya. Dalam periode Desember 2023 sampai April 2024 anggota CIMA bertambah 6 perusahaan, sehingga total kini beranggotakan 70 perusahaan di seluruh Indonesia.
“Dari jumlah ini, 24% perusahaan telah memiliki SIUPPAK (Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal) dari Kementerian Perhubungan. Sampai saat ini, 288 perusahaan (termasuk di luar anggota CIMA) telah mengantongi SIUPPAK yang diatur dalam Permenhub No.59 Tahun 2021.
Dalam pertemuan itu, Ketum CIMA meminta perusahaan pelayaran dan pengawakan kapal berkolaborasi untuk merumuskan strategi penanggulangan seaman jumping ship yang belakangan masih banyak terjadi. Selanjutnya, rumusan dengan data valid itu akan diajukan ke pemerintah (kementerian/lembaga terkait), agar pemerintah mengeluarkan aturan yang baku untuk mengatasi pelaut jumping ship yang merusak nama baik bangsa dan negara RI.
Menurut Carlo Wisnu Kawilarang (Wakil Ketua I Bidang Kapal Pesiar & Kapal Pariwisata) yang jadi narasumber dalam topik permasalah ini menjelaskan beberapa alasan mengapa terjadi jumping ship. Antara lain kondisi kerja di kapal yang buruk, konflik dengan awak kapal atau manajemen, masalah pribadi dan ada yang menjanjikan peluang lebih baik di tempat lain.
Sejumlah anggota CIMA melaporkan, data sementara jumping ship terjadi 59 kasus di beberapa negara yang menimpa 12 perusahaan. Antara lain di Korea, Jepang, Selandia Baru, Australia dan terbanyak di Amerika Serikat. Peristiwa ini membuat keresahan ship manning agency dan sangat dirugikan karena harus mengganti pelaut yang kabur dari kapal.
“Langkah ini dapat memiliki konsekuensi serius bagi keamanan dan operasi kapal, maupun status dan reputasi pelaut,” ujarnya.
Dewan Penasihat Organisasi Deddy Herfiandi menyebut, jumping ship bisa terjadi saat sebelum pelaut naik kapal, saat kapal sandar, maupun pelaut selesai kontrak. “Tindakan mereka ini dapat merusak nama baik bangsa dan negara RI di mata dunia”, ujarnya seraya membenarkan jumping ship banyak terjadi dan pindah ke perusahaan di Amerika Serikat.
Terkait hal ini, Deddy berharap pemerintah (Kemenhub, Kemlu dan Imigrasi) perlu memiliki sikap tegas yang sama. “Saya usulkan pelaut yang terbukti jumping ship paspornya dicabut dan langsung diblack list,” tegasnya.
Untuk mengatasi masalah ini, lanjut Carlo, pengusaha pengawakan kapal harus memahami alasan pelaut tersebut dan membuat strategi untuk mengatasi jumping ship. Sedang pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas untuk memitigasi guna mencegah terjadinya pelaut kabur dari kapal.
Perusahaan pengawakan perlu memperhatikan kondisi kerja dan memperbaiki kesejahteraan awak kapal di industri pelayaran. Perusahaan pelayaran, ship manning agency dan pemerintah harus bekerjasama untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, adil dan bermartabat bagi awak kapal.
Selain itu, sambung Carlo, sistem pengawasan dan pengelolaan SDM pelaut perlu dikembangkan untuk mencegah terjadinya jumping ship yang dapat mengganggu operasional dan keamanan kapal.
Kesehatan pelaut
Masalah lain yang menjadi sorotan adalah kesehatan pelaut. Banyak pelaut yang berdasarkan sertifikatnya sehat, tapi faktanya tidak sehat dan memerlukan perawatan di kapal.
Terkait soal ini, nara sumber Capt. Akhmad Subaidi, M.Mar, AFNI mengatakan, pelaut harus secara jujur menyatakan riwayat penyakit (jika ada) yang dideritanya. Jangan hanya mengejar sertifikat sehat tapi menyembunyikan penyakit yang dideritanya. Misalnya, mengidap penyakit diabetes atau darah tinggi sehingga harus membawa obat ke kapal. Tapi saat kapal berlabuh di tempat yang jauh, penyakitnya kambuh sementara obatnya habis.
“Ini akan menganggu pekerjaan di kapal dan bisa membahayakan pelayaran selanjutnya,” tukasnya.
Begitu juga ada pelaut yang harus membawa obat tolak angin atau extrajoss untuk menjaga staminanya. Namun, tatkala sakit dan pemeriksaan laboratorium, ternyata uriennya positif mengandung narkoba dan terpaksa dipulangkan.
“Mereka tidak menyadari bahwa obat-obat tersebut mengandung narkoba,” ujar Subaidi yang kini menjadi Plt. Sekjen CIMA.
Sementara itu, Deddy menambahkan ada satu kasus pelaut jatuh dari tempat tidur dan tak sadarkan diri yang sampai sekarang masih dirawat di rumah sakit Madrid, Spanyol. Semula dokter mendiagnose pelaut tersebut tak akan selamat, karena diduga mengidap penyakit yang membahayakan.
“Tapi berkat mukjizat Allah SWT, pelaut itu akhirnya mulai sadar, namun belum diizinkan pulang karena kondisinya masih lemah,” ujarnya.
Untuk kedua masalah yang didiskusikan dalam pertemuan tersebut, Ketum CIMA Gatot Cahyo Sudewo meminta para anggotanya agar lebih memperketat sistem perekrutan dan penempatan awak kapal, sehingga kasus-kasus jumping ship dan penyalahgunaan sertifikat kesehatan pelaut dapat dihindari. (Purwanto).