Stakeholder Ketenagakerjaan Diminta Berinovasi Hapus Praktik Pekerja Anak

Wakil Menaker pada peringatan Hari Anak Nasional di Cirebon, Jabar.

CIREBON-MARITIM: Kementerian Ketenagakerjaan kembali mengimbau pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, serikat pekerja dan organisasi masyarakat sipil terus bekerja sama dan melakukan inovasi untuk menghapus praktik pekerja anak di Indonesia. Imbauan ini sejalan dengan Peta Jalan (Roadmap) Indonesia Bebas Pekerja Anak Lanjutan yang diluncurkan sepekan lalu oleh Menaker Ida Fauziyah.

“Roadmap tersebut merupakan acuan bagi seluruh stakeholder ketenagakerjaan dalam menyusun program-program percepatan penghapusan pekerja anak dan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (BPTA) menuju Indonesia Emas tanpa pekerja anak,” ujar Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor pada peringatan Hari Anak Nasional di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (30/7/2024).

Read More

Afriansyah Noor menjelaskan, dalam mewujudkan tumbuh kembang anak yang optimal, sudah selayaknya mereka harus diberi kesempatan untuk menikmati dan mendapatkan pemenuhan atas hak dasar mereka sebagai anak. Antara lain untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari kekerasan.

Jaminan hak dasar tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dikatakan, selain kekerasan fisik dan kekerasan mental, kekerasan atau eksploitasi ekonomi juga sangat rentan terjadi pada anak. Anak-anak yang tereksploitasi secara ekonomi ini sering kita sebut dengan pekerja anak.

“Keberadaan pekerja anak tidak bisa kita biarkan, khususnya mereka yang memasuki dunia kerja dalam usia yang masih sangat muda dan berada pada lingkungan kerja yang berbahaya atau BPTA,” ujarnya.

Afriansyah menegaskan, komitmen Pemerintah Indonesia dalam menghapus pekerja anak ini dibuktikan melalui diratifikasinya Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Anak Diperbolehkan Bekerja, serta Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

“Komitmen tersebut juga diperkuat dengan mengadopsi substansi kedua Konvensi ILO tersebut ke dalam UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” katanya. (Purwanto).

 

Related posts