JAKARTA-MARITIM: Di tengah terjadinya gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) massal belakangan ini, pemerintah memastikan bahwa semua pekerja yang terkena PHK mendapat hak-haknya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini ditegaskan Menteri Ketenagakerjaan Prof. Yassierli dalam pertemuan dengan pers di Gedung Kemnaker, Jakarta, Rabu (10/3/2025). Di awal keterangannya, Menaker menjelaskan kondisi ketenagakerjaan, pengangguran, masalah PHK, dan upaya-upaya strategis menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis.
Dikatakan, proses PHK harus dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang ditetapkan dalam ketentuan yang berlaku, Baik UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun aturan turunannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keppres, Perpres, maupun Keputusan/Peraturan Menaker yang mengatur tentang PHK.
Menurut Menaker, pemerintah tidak bisa mencampuri masalah perusahaan yang akan melakukan PHK massal. Tapi pemerintah berusaha untuk mencegah terjadinya PHK dengan menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur mekanisme PHK
Regulasi itu antara lain menyebutkan, untuk menghindari PHK perusahaan harus melakukan efisiensi dulu. Termasuk melakukan perumahan sementara terhadap pekerja jika dianggap perlu.
Dalam hal perusahaan tidak mampu mempertahankan eksistensinya dan harus melakukan PHK, maka perusahaan harus menginformasikan akan terjadinya PHK massal kepada serikat pekerja/buruh beserta para pekerjanya. Informasi ini harus disampaikan untuk dimusyarahkan paling lambat seminggu sebelum terjadi PHK, baik menyangkut alasan terjadinya PHK, kondisi perusahaan sebenarnya, kewajiban pengusaha maupun hak-hak pekerja yang harus diterima.
“Jika serikat pekerja/buruh beserta anggotanya setuju, maka seminggu berikutnya proses PHK bisa dilakukan dengan mulai memberikan hak-hak para pekerjanya,” ujar Menaker yang didampingi Karo Humas Kemnaker Sunardi Manampiar Sinaga.
Tapi jika rencana PHK ini ditolak oleh pekerja, kata Menaker, pihak perusahaan harus melakukan perundingan secara bipartit dengan serikat pekerja/buruh setempat. Bila perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, maka Dinas Ketenagakerjaan setempat harus mendatangkan petugas mediator untuk menengahi dan menyelesaikan perselisihan tersebut sampai terjadi kesepakatan.
“Jika dalam mediasi tersebut juga tidak terjadi kesepakatan dan menemui jalan buntu, maka perkara PHK itu akan dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial,” sambungnya.
Namun Yassierli tidak menyebutkan angka PHK yang terjadi selama 4 bulan menjabat sebagai Menaker. Ia hanya menyebut, puluhan ribu pekerja PT Sritex yang terkena PHK telah mencairkan dana JHT dan mendapatkan dana JKP dari BPJS Ketenagakerjaan.
Menaker menjelaskan beberapa hak pekerja yang wajib diberikan oleh perusahaan. Antara lain uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Kemudian pekerja yang terkena PHK dapat mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT) dan mendapat dana Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan.
“Pemerintah wajib mengawal dan memastikan semua hak-hak pekerja tersebut dapat diterima sesuai dengan peraturan,” tutur Yassierly.
Ia menyebut ada regulasi terbaru yang mengatur Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025. PP yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto ini merupakan perubahan dari PP Nomor 37 Tahun 2021.
Dalam PP baru itu disebutkan besarnya santunan bagi pekerja yang terkena PHK sebesar 60% dari gaji selama 6 bulan berdasarkan gaji terakhir yang dilaporkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Santunan ini diharapkan dapat digunakan sebagai biaya hidup sebelum mereka mendapatkan pekerjaan yang baru. Aturan sebelumnya, santunan JKP sebesar 40% dari gaji dan diberikan selama 3 bulan. (Purwanto).