Wapres JK : Tidak Benar Indonesia Alami Deindustrialisasi

Wapres Jusuf Kalla Bersama Menperin Airlangga Hartarto Meninjau Stand PT TMIIN pada IIS 2019
Wapres Jusuf Kalla Bersama Menperin Airlangga Hartarto Meninjau Stand PT TMIIN pada IIS 2019

Tangerang, Maritim
Wapres Jusuf Kalla mengatakan, Indonesia tidak sedang dalam fase deindustrialisasi, karena hal itu terlihat berdasarkan capaian kontribusi sektor manufaktur saat ini.
“Tidak benar kalau deindustrialisasi. Selama ini sektor industri manufaktur berkontribusi besar terhadap PDB nasional. Dalam kurun empat tahun terakhir, rata-rata sumbangannya mencapai 21,30%. Artinya, industri tetap jadi kontributor tertinggi dalam pendapatan nasional. Maka itu, kita terus pacu pengembangan sektor manufaktur,” katanya saat ditanya wartawan soal adanya deindustrialisasi di Indonesia usai membuka Indonesia Industrial Summit (IIS) 2019, di Tangerang, Senin (15/4).
Karena itu, menurutnya, sudah saatnya industri nasional perlu memanfaatkan teknologi yang berkembang saat ini. Sebagai upaya meningkatkan produktivitas dan kualitas secara lebih efisien.
“Sebab, kemajuan teknologi telah mengubah segalanya, baik cara kita untuk berproduksi, berprilaku terhadap hubungan sosial. Apalagi, pertumbuhan industri kita juga 5% per tahun tidak ada yang berkurang,” ujarnya.
Di tempat sama, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan sejatinya Indonesia memang pernah mengalami deindustrialisasi. Namun, itu jelas terjadi pada saat Indonesia mengalami terkendala dampak krisis moneter. Sementara, saat ini, sektor industri manufaktur terutama secara perlahan mulai membaik.
“Deindustrialisasi sebenarnya terjadi pada 1998-2002. Tapi, secara perlahan kami sudah bisa mempengaruhi supaya pertumbuhan industri bisa menyamai pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Pemerintah perlu melakukan transformasi bukan hanya pada sektor industri yang dituju, namun pada hal-hal yang berkaitan dengan keberlangsungan industri tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah saat ini memfokuskan pembangunan infrastruktur agar memperlancar kegiatan industrialisasi di dalam negeri.
Di sisi lain, soal hilirsasi produk yang dapat diolah dari sumber daya alam yang terdapat di Indonesia. Sebab,, hilirisasi bukan hanya menambah nilai dari suatu produk, namun meningkatkan kualitas pekerjaan para pekerjanya.
“Jadi, kalau ditanya soal deindustrialisasi, pernah terjadi di republik ini. Tapi terjadi waktu awal-awal krisis monoter,” ucapnya.
Hal sama diutarakan Menperin Airlangga Hartarto bahwa industri manufaktur saat ini mampu memberi kontribusi besar pada PDB nasional sebesar 20%.
“Dengan begitu, sangat tidak tepat kalau Indonesia dikatakan sebagai negara yang mengalami deindustrialisasi. Dari capaian 20% tersebut, Indonesia menempati peringkat kelima di antara negara G20,” katanya.
Posisi Indonesia berada setelah China, dengan sumbangsih industri manufaktur mencapai 29,3%, disusul Korea Selatan 27,6%, Jepang 21% dan Jerman 20,7%.
“Kalau kita lihat rata-rata kontribusi manufaktur dunia saat ini sekitar 15,6%. Jadi, sudah tidak ada satu negara di manapun yang di atas 30%,” katanya.
Jika dibandingkan era tahun 90-an, ketika kontribusi manufaktur Indonesia saat itu menyentuh angka 30%, PDB Indonesia secara keseluruhan US$95 miliar.
“Nah, sekarang 20% itu dari US$1.000 triliun. Jadi tentu magnitude-nya berbeda. Dulu sekitar US$300 miliar, saat ini skalanya sudah naik sepuluh kali,” jelasnya.
Dengan capaian-capaian tersebut, kata Airlangga, sangat tidak benar kalau Indonesia dikatakan sebagai negara yang mengalami deindustrialisasi. (M Raya Tuah)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *