JAKARTA – MARITIM : Untuk menekan defisit neraca perdagangan akibat impor sektor migas yang makin tinggi, dimana pada April 2019 lalu tercatat mencapai Rp21 triliun, pemerintah perlu segera merealisasikan produk green gasoline. Dimana bahan baku yang cocok secara tekno ekonomi adalah industrial palm oil (IPO) yang merupakan salah satu jenis dari produk industrial vetegable oil (IVO).
Di sisi lain, bagaimana meningkatkan penyerapan CPO ke dalam negeri, untuk mendongkrak harga minyak sawit. Yang pada akhirnya akan mengangkat harga beli TBS di tingkat petani rakyat, khususnya petani swadaya.
“Keunggulan produk ini, adalah kandungan asam lemak bisa lebih tinggi dari pada processed palm oil (PPO) lainnya dan rute produksinya lebih sederhana (hanya menghilangkan getah/gum dan logam) serta yield pemrosesan dari buah sawit lebih tinggi dari pada konvensional (23-28% vs 20-21%),” kata Plt Dirjen Industri Agro Kemenperin, Muhammad Khayam, pada diskusi “Mendorong Pertumbuhan Industri Green Fuel (Bahan Bakar Hijau) Berbasis Kelapa Sawit dan Bahan Nabati Lainnya dalam rangka Menyehatian Neraca Pembayaran Nasional”, di Jakarta, kemarin.
Mengingat nilai strategis industri bensin nabati itu begitu besar, lanjut Khayam, maka diyakini tekanan pada neraca perdagangan nasional dapat dikurangi dan memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
Untuk itu ke depan, pemerintah bersama kementerian dan lembaga terkait perlu membuat roadmap komersialisasinya. Terutama perlu mempertimbangkan Konsep Pencadangan Lahan Kelapa Sawit bagi pasokan bahan baku industri green fuel seperti yang dilakukan pada sektor pertambangan batu bara.
Saat ini, Indonesia merupakan negara produsen minyak mentah sawit (CPO dan CPKO) terbesar di dunia, dimana pada 2018 produksi CPO sekitar 42 juta ton dan produksi CPKO 4,7 juta ton. Sehingga total ekspor CPO dan produk turunannya mencapai 31,5 juta ton atau senilai US$25,65 miliar.
“Maka dari itu, serapan minyak sawit untuk bahan bakar nabati dalam negeri perlu diperluas, tidak hanya sebagai subsitusi minyak solar/diesel. Di sisi lain, impor BBM terbesar kita berupa gasoline, dibutuhkan penyelesaian yang urgent dan komprehensif serta paripurna. Yaitu, dengan memanfaatkan sumber daya domestik yang tersedia, khususnya minyak sawit sebagai bahan baku,” ungkapnya.
Selain itu, Indonesia juga perlu mendorong industrialisasi biohidrokarbon dari minyak sawit (biofuel 100%), dengan produk green diesel, green gasoline dan avtur/berbasis kernel oil.
Skema produksinya, menurut Khayam, co-processing (bersamaan dengan pengolahan petroleum crude oil di kilang) atau stand alone refinery/biorefinery. Yang mana kedua skema itu dapat terwujud karena Teknologi Katalis Merah Putih Pertamina-ITB.
Keunggulan Green Fuel
Saat ini, produk green fuel yang paling niscaya untuk dibangun secara cepat dan urgent adalah green gasoline, dengan keunggulan tidak membutuhkan gas hidrogen. Dapat dibangun secara berdiri sendiri, tidak berkompetisi dengan biodiesel FAME existing, ceruk pasar gasoline yang sangat besar dan merata di seluruh wilayah Indonesia serta menghasilkan produk samping LPG Nabati yang juga dibutuhkan oleh masyarakat.
Spesifikasi produk IPO ini berbeda dengan minyak sawit mentah/CPO, termasuk berbeda dengan produk RBD Palm Oil (Refined Bleached Deodorized) Palm Oil, yang selama ini digunakan sebagai bahan baku uji coba katalis produksi green fuel di kilang Pertamina atau pilot plant laboratorium ITB.
Kemenperin diharapkan dapat mendukung penyusunan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI), untuk mewujudkan industrialisasi IVO, sebagai bahan baku industri biohidrokarbon (biofuel 100%), sebagai pembeda dengan produk CPO.
Keunggulan IVO, adalah menggunakan buah sawit lewat matang (petani rakyat tidak tergantung tengkulak yang mendikte kualitas buah petani) dan berasal dari buah sawit yang diproduksi skala rakyat/kecil menengah. Kemudian harga relatif rendah karena proses semi kering (tidak butuh energi tinggi) dan dilengkapi penghilangan logam (demetalized, sehingga aman untuk katalis dan sesuai dengan technical requirement katalis).
Dikatakan, tantangan pengembangan IVO yang harus ditangani pemerintah, adalah bagaimana rekayasa dan rancang bangun peralatan produksi IVO yang local based dan murah. Berkoordinasi dengan Kementan untuk membangun sistem agribisnis yang menghasilkan IVO dengan menghindari kompetisi dengan pangan dan FAME. Membuat pilot project pabrik IVO yang bermitra dengan Pertamina untuk pengamanan supply bahan baku dan korporatisasi petani rakyat mitra Pertamina/BUMN dengan bantuan IT (implementasi industri 4.0). (M Raya Tuah)