Industri Maritim Harus Cepat Merespon Revolusi Industri 4.0

Vice Consul Kedubes AS Robert J. Grasso dan staf (tengah) foto bersama DPP/DPO CIMA seusai memberikan pemaparan tentang pengurusan visa bagi pelaut Indonesia yang akan masuk AS.
Vice Consul Kedubes AS Robert J. Grasso dan staf (tengah) foto bersama DPP/DPO CIMA seusai memberikan pemaparan tentang pengurusan visa bagi pelaut Indonesia yang akan masuk AS.

JAKARTA – MARITIM :Era Revolusi Industri 4.0 akan menjadi tantangan sekaligus peluang. Ekspansi sistem digital dan perkembangan internet sudah sedemikain meluas dan kuat. Untuk itu, industri maritim harus cepat merespon dan segera mengambil langkah strategis.

Di sisi lain, pelakuindustri maritim, baik sektor pendidikan dan penunjang lainnya maupun pemerintah, harus segera memperkuat sinergi.Sinergi akan mampu menjaring problem dan menemukansolusi untuk terus dikembangkan, sehingga industri maritim nasional akan bangkit.

Read More

Penegasan ini dikemuakan Ketua Umum DPP CIMA (Consortium of Indonesia Manning Agency) Gatot Cahyo Sudewo, SE, MM.Tr dalam seminar bertemaindustry 4.0 in the maritime sector – potentials & challengesdi Jakarta Rabu (17/7). Acara ini dirangkaikan dengan halal bihalalDewan Pimpinan Pusat (DPP), Dewan Pertimbangan Organisasi (DPO) dan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) CIMA dengan seluruh angggota yang juga dihadiri pejabat Ditjen Perhubungan Laut, Politeknik Maritim NegeriIndonesia(POLIMARIN) Semarang, P3I (PerkumpulanPekerjaPelaut Indonesia), Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI)dan PRAMARIN (PerkumpulanPraktisiMaritim Indonesia).

Robert J. Grasso selaku Vice Consul dari Kedubes AS yang juga hadir menjelaskan proses pengurusan visa bagi pelaut Indonesia yang akan masuk negaranya dan CVP (Crew Visa Program). Ia memastikan visa akan diberikan kepada pelaut yang memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk bekerja di kapal.

Selanjutnya Gatot mengatakan, Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia karena 2/3 wilayahnya merupakan lautan. Indonesia harus menjadi pemain utama dalam industri pelabuhan dan pelayaran, karena 40% perdagangan logistik dunia melewati perairan Indonesia.

Untuk itu, komitmen Indonesia yang telah mendeklarasikan memperkuat tol laut nasional dan menjadi poros maritim dunia, harus dijaga dengan baik dalam bentuk partisipasi aktif membangun maritim nasional. Kecintaan terhadap industri maritim juga harus dibangun sejak dini agar terus berkelanjutan untuk memajukan industri maritim Indonesia.

“Penerapan teknologi informasi menjadi salah satu grand strategy dan kebijakan umum di sektor transportasi laut yang mendasari seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Teknologi informasi berperan untuk membuat proses transaksi ekonomi dan administrasi bisa dilakukan lebih cepat, murah, dan transparan,” tegas Gatot.

CIMA mengapresiasi Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub yang telah membangun aplikasi sistem informasi manajemen perkapalan dan kepelautan atau Simkapel (sisteminformasimanajemenperkapalandankepelautan), yakni layanan berbasis web yang mengintegrasikan sistem informasi terkait sertifikasi kapal dan pelaut secara online. Mulai dari pejabat pemeriksa keselamatan kapal hingga pelaku industri perkapalan yang terus ditingkatkan dan dikembangkan ke unit pelaksana teknis di daerah. Beberapa sistem informasi juga telah terealisasi, seperti sistem manejemen lalu lintas angkutan laut (Simlala), buku pelaut online dan sistem informasi sertifikasi kesehatan pelaut Indonesia (Siskespi).

Banyak tantangan

Namun Gatot menilai masih banyak tantangan terkait perkembangan industri 4.0. Misalnya koneksi internet, potensi terbukanya celah keamanan baru, system error, kemampuan menyimpan data (server base data), data yang belum real time, serta kemampuan untuk menjaga produktifitas adalah beberapa hal yang memerlukan pengembangan dan penyempurnaan.

Terkait hal ini, pemerintah perlu mempersiapkan infrastruktur yang baik agar penerapan industri 4.0 dapat berjalan dengan baik. Pembangunan infrastruktur tentu sejalan dengan strategi pemerintah yang mencanangkan tahun 2019 sebagai tahun pengembangan SDM (sumber daya manusia).

Ketua Umum DPP CIMA Gatot Cahyo Sudewo (kanan) menyerahkan cendera mata kepada Capt. Guntur yang mewakili Direktur Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut.

Menurut Gatot, kualitas SDM yang memiliki kompetensi maritim akan menjadi kebutuhan era industri 4.0 di sektor maritim. Persaingan akan semakin ketat. Oleh karena itu, diperlukan sikap untuk menerima, memanfaatkan dan mengoptimalkan kemajuan teknologi.

“Keberadaan CIMA sebagaibagiandariusaha keagenan awak kapal sangatlah dibutuhkan guna membantu para pelaut kita mendapatkan kesempatan bekerja seluas-luasnya sekaligus membuktikan kemampuan dan daya saing pelaut Indonesia di dunia,” tegasnya.

Sementara itu, Capt. Chandra Mardhika Saputra, S.SiT, MM.Tr, M.Mar sebagai keynote speaker dalam seminar tersebut menegaskan, di era industri 4.0 pelaut harus menguasai teknologi informasi, baik hardware maupun softwarenya. Selain itu, harus memiliki kompetensi inti di atas rata-rata agar mampu bersaing di internasional.

Capt. Guntur Fitrah Pahensa, M.Mar dari Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Hubla menyebutkan banyak masalah yang harus dilakukan untuk melindungi pelaut di era industri 4.0. Antara lain pelayanan sertifikat kompetensi dan buku pelaut online yang kini telah menjangkau 53 lokasi akan terus dikembangkan.

“Untuk mencegah terjadi pemalsuan, sertifikat kompetensi dan buku pelaut akan disertai dengan finger print,” ujarnya.

Diskusi juga menyoroti tentang pelaut mandiri karena masih kontradiksi dan sering terjadi masalah di luar negeri. Posisi mereka lemah lantaran berangkat tanpa melalui agen resmi dan tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas.

“KPI mendesak pemerintah untuk merevisi PP No.7/2000 dan PM 84/2013 yang mencantumkan pelaut mandiri. Ratusan pelaut mandiri menjadi korban tapi pemerintah tidak bisa membela,” tegas Capt. WS Trisno dari KPI.

Rekomendasi

Seminar sehari itu menghasilkan beberapa rekomendasi yang segera disampaikan kepada Ditkapel Ditjen Hubla untuk memperbaiki permasalahan yang ada. Di antaranya, pemerintah diminta mempercepat penerbitan COC (Certificate of Competency) & COP (Certificate of Profeciency), Masalahnya, di era digitalisasi perlu kecepatan dan integrasi yang baik dengan pelanggan (mitra bisnis), sehingga akan memberikan nilai tambah di dalam pelayanan kepada pelanggan.

Penerbitan buku pelaut dan pasporperlusinkronisasi Kementerian Perhubungan dengan Ditjen Imigrasi, sehingga pelaut yang bekerja di luar negeri tidak akan menjumpai masalah terkait dokumen yang dimiliki.

“Peraturan perpajakan untuk pelaut juga belum jelas. Untuk itu perlu kolaborasi antara Kementerian Perhubungan dan Kementerian Keuangan,” kata Ketua Umum CIMA yang membacakan hasil seminar. (Purwanto).

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *