SURABAYA – MARITIM : Program pembangunan wilayah terpadu dengan mengusung jargon Gerbangkertosusila (GERsik-BANGkalan-MojoKERTO–SUrabaya-SIdoarjo-LAmongan) yang dicanangkan pada masa pemerintahan Gubernur Basuki Soedirman, tampaknya harus jalan di tempat. Kota Surabaya yang menerima beban paling berat, tak berkutik bila masalahnya menyangkut biaya pembangunan wilayah yang sukses seperti Jabotabek (JAkarta-BOgor-TAngerang-BEKasi, yang belakangan berkembang menjadi Jabodetabek karena masuknya Depok pada program tersebut).
Belum lagi terdapat progress pembangunan wilayah terpadu Gerbangkertosusila, beban lain juga masih menggantung. Antara lain rencana pembangunan jalan tol dalam kota sebagai akses penghubung Wonokromo dengan Tanjung Perak yang menjadi tarik menarik karena Pemkot ingin mewujudkan dengan cara membangun jalan layang lewat jalur Wonokromo-Gubeng-Sidotopo-Kalimas Baru, yang ditolak oleh Pemprov Jatim. Lalu ada lagi rencana reaktifikasi angkutan trem kota jalur selatan-utara (bundaran Waru-Tanjung Perak) dan timur-barat (Pantai Timur Surabaya-Joyoboyo-Lidah) yang tak didukung pemerintah pusat.
Dalam pada itu, terdapat masalah cukup mendesak, berupa kian padatnya jalur jalan dari Sidoarjo di selatan menuju Wonokromo dan seterusnya hingga Tanjung Perak melalui jalur tengah (jalan Raya Darmo). Karena, sejak lima tahun lalu Pemkot Surabaya mulai berencana memperluas jalan utama mulai dari Bunderan Waru yang berbatasan dengan Kebupaten Sidoarjo, menuju Wonokromo dengan menambah frontage road di sisi timur dan barat Jl. Jenderal Ahmad Yani. Frontage road adalah konsep pengembangan jalan dengan basis jalur cepat dan jalur lambat.
Kendala yang dihadapi, bukanlah ringan karena mayoritas jalan utama ini sudah dipadati bangunan hunian penduduk, perkantoran swasta maupun pemerintah. Namun hasilnya terhitung cukup lumayan, karena untuk sisi timur jalan saat ini sudah tersambung dan dapat dimanfaatkan mengurai kemacetan. Untuk sisi barat, Pemkot Surabaya berusaha mengebut pembangunan frontage road sisi barat yang tampaknya terhamnbat oleh adanya bottle-neck di persimpangan Taman Mayangkara, dengan Rumah Sakit Islam hingga jembatan di daerah jelang terminal Joyoboyo. Untuk titik ini Pemkot sudah memulai pengerjaan intensif sejak Mei 2019 dan ditargetkan selesai selama 6 bulan kemudian.
Terkait hal itu, Erna Purnawati Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan (PUBMP) katakan bahwa ada enam persil yang dibongkar oleh petugas dari instansinya dan dibantu oleh Satpol PP. Jelasnya kepada awak media termasuk maritim.com beberapa hari berselang: “Kami perkirakan pekerjaan pembangunan frontage road akan dapat diselesaikan pada November mendatang. Dalam pemecahan masalah ini, Pemkot Surabaya membantu PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) untuk melakukan pembongkaran bangunan enam persil yang dilakukan pada Selasa (16/7/2019) menggunakan alat berat backhoe. Seperti diketahui
Lokasi ini merupakan tanah milik PT KAI. Jadi, peran kami membantu pembongkaran dan pemerataan”.
Setelah pembongkaran ini, lanjut Purnawati, masih ada beberapa bangunan kosong yang akan dibongkar untuk melanjutkan pembangunan fisik. Namun, dia mengakui bahwa masih ada satu bangunan milik warga yang sudah memiliki sertifikat meskipun sebelumnya tanah itu merupakan tanah KAI.
Pungkas Kasdis PUBMP: “Kami juga heran kendati fihak PT KAI tidak pernah melepaskan hak pengelolaan lahan itu, tetapi kenapa terhadap persil tersebut dapat terbit sertifikat. Oleh karena itu, untuk saat ini kami telah mengambil langkah dengan melakukan konsinyasi di Kejaksaan Negeri Surabaya”. (Erick Arhadita)