JAKARTA–MARITIM : Setelah bertahan cukup lama, karena ketidakpastian pasar keuangan global, Bank Indonesia (BI) dalam rapat dewan gubernur (RDG) bulanan memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate (BI 7 day RRR) sebesar 25 basis point (bps) menjadi 5,75 persen. BI juga menurunkan suku bunga deposit facility sebesar 0,25 persen menjadi 5 persen dan lending facility sebesar 0,25 persen menjadi 6,5 persen.
Gubernur BI , Perry Warjiyo kepada wartawan, Kamis (18/7) di kompleks BI , mengatakan, setelah Bank Sentral mempertimbangkan berbagai assasement , dan perkiraan baik dari global maupun domestik. Kebijakan tersebut, ditempuh sejalan dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi , dan perlunya mendorong momentum pertumbuhan ekonomi, di tengah kondisi ketidakpastian pasar keuangan global yang menurun dan stabilitas eksternal yang terkendali.
Sejauh ini menurut Perry, BI terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait. Maksudnya, sebagai upaya untuk mempertahankan stabilitas ekonomi, mendorong permintaan domestik, serta meningkatkan ekspor, pariwisata dan aliran modal termasuk Penanaman Modal Asing (PMA).
Bicara tentang keterkaitan pasar keuangan khususnya perekonomian global , dengan ketegangan hubungan dagang Amerika – Tiongkok yang masih berlanjut, Perry Warjiyo mengaku, terus menekan volume perdagangan dunia dan menekan pertumbuhan ekonomi global, termasuk Amerika Serikat.”Perekonomian AS diprakirakan tumbuh melambat , akibat ekspor yang menurun. Ini sebagai dampak ketegangan hubungan dagang, stimulus fiskal yang terbatas, serta keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat,”jelas Perry.
Sudah Dipersiapkan
Sementara Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menjelaskan, dalam memutuskan kebijakan bunga, bank sentral tak hanya memperhatikan kondisi domestik, tapi juga sektor eksternal. “Satu hal yang selama ini mungkin ditanyakan, kenapa BI tidak menurunkan bunga padahal inflasi bagus, perekonomian bagus? Ya karena kita juga masih melihat risiko eksternal, masih ada ketidakpastian dari eksternal,” kata Doddy dalam pelatihan wartawan ekonomi di Hotel Adimulia, Medan, Jumat (19/7).
Dody mengaku, untuk menurunkan suku bunga sebenarnya BI sudah melakukan persiapan sejak 2-3 bulan sebelumnya melalui pelonggaran likuiditas, dengan penurunan giro wajib minimum (GWM) sebanyak 50 bps untuk bank umum dan bank syariah.
“Untuk meningkatkan permintaan domestik termasuk investasi perlu ditingkatkan di tengah perlambatan ekonomi. Strategi operasi moneter untuk memastikan ketersediaan likuiditas yang dipasok BI ke perbankan,” jelas Dody.
Diungkapkan , kondisi eksternal seperti ketegangan dagang antara AS dan China turut mempengaruhi perekonomian global. Hal ini menyebabkan, negara-negara mitra dagang dua negara besar tersebut harus waspada dengan risiko perang dagang. Kondisi ini juga turut menjadi perhatian bank sentral di seluruh dunia dalam melakukan pengambilan kebijakan.
Untuk diketahui, BI akhirnya memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps). BI 7 Days Repo Rate kini menjadi 5,75 persen.Bank sentral tercatat sudah delapan bulan menahan suku bunga acuan di level 6 persen dengan deposit facility 5,75 persen dan lending facility 6,75 persen.
“RDG BI pada 17 dan 18 Juli 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7 days repo rate sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen” ungkap Dody.
Secara terpisah, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan , penurunan bunga acuan akhirnya diambil setelah melihat tanda-tanda pelonggaran kebijakan moneter dari Bank Sentral Amerika Serikat the Fed semakin menguat. Sinyal the Fed yang menurunkan bunga acuan tahun ini , membuat BI percaya diri melonggarkan ikat pinggangnya.
“Kalau AS statementnya hawkish, kita sulit melakukan pelonggaran,” kata Mirza dalam paparannya di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (23/7).
Meski the Fed belum menurunkan bunga acuannya, BI yakin pelonggaran kebijakan moneter akan diambil AS seiring sikap bank sentral negara di kawasan yang juga mengambil sikap dovish. Hal ini terlihat dari Australia yang sudah menurunkan bunga acuan dua kali tahun ini. Begitu pula dengan India, Malaysia, dan Filipina.
“Indonesia kemudian merespons supaya tidak semakin berdampak ke pertumbuhan ekonomi kita, dan memanfaatkan pelonggaran suku bunga global dengan melonggarkan suku bunga BI,” katanya.
Menjawab pertanyaan dan sekaligus berpamitan, karena Selasa (23/7) menjadi hari terakhir Mirza di Bank Indonesia, diakui, perang dagang global masih berlangsung. Namun, ini sementara karena ini hanyalah agenda politik AS. “Motifnya politik kampanya, bukan fenomena permanen bagi ekonomi global,” ujarnya seraya menambahkan tapi bahwa masih ada, iya hingga 2020.
Kondisi ini kata Mirza, janganlah membuat kita pesimis , justru Indonesia harus bisa memanfaatkan bagaiman bisa mengangkat beralihnya sebagian investasi asing ke China. Tentu saja, harus dengan kerja keras karena untuk investasi, Indonesia berhadapan dengan negara Asean lainnya, seperti Vietnam dan Thailand yang sudah menjaring investor , karena faktor perang dagang tadi.
Cukup Melegakan
Pemangkasan suku bunga acuan ini, cukup melegakan banyak pihak, diantaranya pelaku bisnis perbankan dan pengemat yang sejak awal tahun 2019, berharap Bank Indonesia siap menurunkan suku bunga acuan. Meski mereka mengetahui, kondisi ekonomi global masih fluktuatif akibat ketegangan Amerika dan Tiongkok masih berlanjut.
Harapan menurunkan suku bunga ini, karena para pakar melihat pertumbuhan ekonomi domestik stagnan dan cenderung menurun. Pengamat ekonomi Hendri Saparini mengatakan, penurunan bunga ini memang dinanti-nanti banyak kalangan , pasalnya, jika bunga turun diharapkan bisa mendorong penyaluran kredit dan pertumbuhan sektor ekonomi . Artinya, penurunan suku bunga seharusnya dilakukan lebih awal. Tapi bank sentral baru melakukan itu setelah Pemilu, disaat pertumbuhan ekonomi domestik hanya berada dikisaran 5,07 persen di kuartal satu (Q1) 2019.
Hendri Saparini mengaku, penahanan suku bunga oleh Bank Indonesia yang beberapa bulan itu, karena berharap pada saat Pemilu sektor konsumsi akan terdorong , yang secara langsung pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Kenyataannya, sektor yang diharapkan bisa meningkatkan . Kenyataannya pertumbuhan ekonomi, tidak terjadi karena digeser oleh digital. Begitu juga saat Lebaran Idul Fitri, yang diwaktu-waktu sebelumnya, bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara signifikan. “Memang kita punya potensi besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik, tapi kondisi sudah berubah”, ujar Hendri Saparini saat tampil berbicara, dalam pelatihan wartawan ekonomi, yang diselenggarakan Bank Indonesia, di Bandung (Jumat, 19/7).
Namun sejauh itu ia mengaku, aksi bank sentral tanah air menurunkan suku bunga, sebagai bentuk penyesuaian perkembangan keuangan global dan adanya ruang untuk melakukan penurunan. “Ini merupakan sinyal manufaktur tanah air bergerak, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga untuk menguatkan ekonomi Indonesia,”ujarnya seraya menambahkan , mengurangi impor dan mendorong perdagangan global.
Sebab lanjutnya, dunia ini sedang longgar, AS ekonominya tidak berjalan sebagaimana mereka harapkan, sehingga perlu, mencari peluang pasar di luar AS. Perekonomian AS diprakirakan tumbuh melambat , akibat ekspor yang menurun. Ini sebagai dampak ketegangan hubungan dagang, stimulus fiskal yang terbatas, serta keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat.
Bicara tentang pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2019, Hendri Saparini memperkirakan pertumbuhannya tidak jauh dari Q1 atau hanya sekitar 5,1 persen, atau lebih buruk lagi dibawah 5,1 persen.
Namun tambahnya, konsumsi dalam negeri tetap baik , karena didukung keyakinan konsumen , yang tetap terjaga dan investasi bangunan juga tetap tumbuh stabil.
Sementara itu, ekspor Indonesia diprakirakan tumbuh negatif dipengaruhi terbatasnya permintaan dunia dan turunnya harga komoditas akibat berlanjutnya ketegangan hubungan dagang, meskipun ekspor baja naik pada Juni 2019. Dampak ketegangan hubungan dagang terhadap perlambatan ekspor juga terjadi di sejumlah negara.
Selanjutnya, ekspor yang kontraksi mendorong penurunan impor dan investasi non bangunan yang tumbuh terbatas. Ke depan, upaya untuk mendorong permintaan domestik, termasuk investasi, perlu ditingkatkan untuk memitigasi dampak negatif perlambatan ekonomi dunia. Secara keseluruhan,
diprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 , perlu kerja keras bila berharap akan tumbuh 5,12 persen seperti yang diestimasikan. (Rabiatun)