JAKARTA–MARITIM : Tingginya resiko budidaya ikan , utamanya udang. Namun selama ini, resiko yang timbul, umumnya menjadi tanggungan petani tambak sendiri.
Ironisnya lagi menurut Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II OJK Moch Ihsanuddin, kalau petani tambak budidaya ikan atau udang, menggunakan pembiayaan dari rentenir. “Banyak petani tambak yang terjebak utang pada rentenir atau lintah darat, karena gagal panen karena faktor alam,”tutur Ichsanuddin saat acara Sosialisasi Asuransi Perikanan Bagi Pembudidaya di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kamis (1/8).
Menolong petani tambak dari jeratan rentenir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersinergi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan produk Asuransi Usaha Budidaya Udang Komersial dan Asuransi Perikanan Bagi Pembudidaya Ikan Kecil (APPIK) khusus ikan lele. Adapun kerja sama ini, guna mendorong kemajuan sektor kelautan dan perikanan. Sekaligus, mensejahterakan para petani di Indonesia.
Moch Ihsanuddin mengatakan,asuransi perikanan ini merupakan produk asuransi budidaya pertama kali di Indonesia. Harapannya, dengan asuransi ini petani tambak mulai sadar , bahwa bisnis perikanan risiko cukup tinggi apalagi udang.
“Kalau para petani gagal maka dapat subsidi nikmatnya gagal panen. Nantinya berharap sifatnya komersil (asuransi) ini dan tidak lagi menggunakan dana pemerintah,” ujarnya.
Dikatakan, pemilihan komoditas ikan lele merupakan upaya OJK dalam mendorong tingkat inklusi keuangan di masyarakat. Mengingat komoditas ini, dinilai paling bisa menyentuh semua kalangan masyarakat dan pelaku usaha UMKM.Artinya, industri asuransi harus berani melakukan penetrasi pasar yang baru. Agar seluruh lapisan masyarakat, dapat memperoleh perlindungan terhadap jiwa dan harta bendanya . Di sisi lain, industri asuransi kita juga akan tumbuh dan berkembang.
Dalam hal ini, produk Asuransi Usaha Budidaya Udang (AUBU) Komersial, memberikan perlindungan risiko kepada pembudidaya atas penyakit yang mengakibatkan matinya komoditas udang yang diasuransikan atau kegagalan usaha. Adapun kriteria pembudidaya yang dapat membeli produk AUBU Komersial, yaitu pembudidaya tradisional, semi intensif, intensif, dan super intensif.
“Harga pertanggungan dari AUBU Komersial dihitung berdasarkan biaya produksi yang dikeluarkan pembudidaya dalam satu siklus budidaya udang. Tarif premi dihitung dari harga pertanggungan dikali tiga persen,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur Jendral Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto menambahkan, program asuransi perikanan ini didukung sepenuhnya oleh Konsorsium Asuransi.
“Dengan adanya Konsorsium menunjukkan bahwa banyak perusahaan asuransi yang berminat ikut berperan dalam dunia perikanan, khususnya perikanan budidaya mungkin merupakan hal yang sangat baru bagi dunia asuransi,”kata Slamet.
Dalam pelaksanaannya, Slamet menjelaskan, program asuransi perikanan ini tetap melibatkan partisipasi dan dukungan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi serta Kabupaten/Kota, khususnya pelaksanaan APPIK dan mensosialisasikan produk AUBU komersial ini kepada para pelaku usaha budidaya udang. Selain dinas, Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Ditjen Perikanan Budidaya dan penyuluh perikanan juga akan dilibatkan khususnya untuk pendampingan teknologi dan manajemen usaha.
“Dengan sinergisitas dan kerja sama semua instansi pemerintah tersebut, diharapkan program AUBU komersial ini dapat berhasil baik, sehingga diharapkan produk asuransi komersial serupa untuk komoditas perikanan budidaya lainnya akan segera hadir mengikuti,” ucapnya.
Ke depan, asuransi usaha budidaya ini juga diharapkan pembudidaya akan lebih mudah dalam menjalankan usaha dan mendapatkan akses pembiayaan untuk pengembangan usahanya, sehingga para pembudidaya dapat meningkatkan produktivitas dan memiliki daya saing yang semakin baik dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat.(Rabiatun)