Industri Rumput Laut Perlu Dukungan Sektor Hilir

Proses penjemuran rumput laut
Proses penjemuran rumput laut

SURABAYA – MARITIM : Didasari oleh keinginan lebih memacu peningkatan salah satu industri unggulan, Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) mendesak pemerintah menerbitkan kebijakan yang mendukung industri hilir rumput laut (Euchema, Gracilaria, gulma/ganggang laut). Ketua Astruli Mc Donny W Nagasan mengatakan kebijakan tersebut salah satunya berupa insentif terkait pemanfaatan gas. Menurutnya, rentang antara batas minimum dan maksimum pada kontrak pemanfaatan gas terlalu sempit.

Industri pun akan dikenai biaya tambahan bila penggunaan gas melewati batas maksimum yang ditentukan. Ungkap Donny: “Jika penggunaan di atas batas maksimum, harga gas akan dikenakan surcharge dua kali lipat. Dengan kondisi tersebut, industri harus mengeluarkan ongkos produksi yang jauh lebih tinggi ketika pesanan meningkat. Hal ini akan membebani harga pokok produksi yang berdampak pada kurang kompetitifnya harga produk olahan rumput laut dari Indonesia”.

Read More

Menurutnya, hal lain yang menjadi tantangan adalah tagihan biaya penggunaan gas yang masih dalam mata uang dolar Amerika Serikat. Akibatnya, tingginya biaya energi pun akan diperparah dengan meningkatnya harga rumput laut kering yang jadi bahan baku. Bahkan kenaikannya terjadi hingga dua kali lipat. Imbuhnya: “Hal ini menyebabkan industri tak dapat dengan cepat melayani calon pembeli dari luar negeri karena kurangnya  stok yang memadai”.

 Salah Data

Lebih jauh, Ketua Astruli menilai terdapat sejumlah hal yang perlu ditinjau ulang, terkait Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2019 tentang peta jalan atau roadmap pengembangan industri rumput laut nasional 2018-2021. Salah satu yang perlu dibenahi dan dinilai paling krusial adalah terkait data-data yang disajikan dalam Perpres tersebut, yang pada akhirnya akan berdampak besar pada kelangsungan industri rumput laut dalam negeri. Ujar Ketua Astruli: “Di Perpres ini masih banyak ditemukan perbedaan data”.

Kementerian Kelautan & Perikanan (KKP) mencatat estimasi produksi rumput laut mencapai 10,366 juta ton basah hingga akhir 2018 dan bahkan hingga 16, 171 juta ton basah dalam target di Perpres 33/2019.

Dony menjelaskan bahwa dengan produksi 10 juta ton rumput laut basah saja, setidaknya produksi rumput laut kering dapat mencapai 1 juta ton. Adapun, penyerapan rumput laut di dalam negeri baik untuk jenis gracilaria dan cottonii baru mencapai 130.000 ton. Sementara itu, ekspor kedua jenis rumput laut ini baru mencapai 200.000 ton.

Imbuh Donny pula: “Lain-lain itu yang kami pertanyakan itu rumput laut jenis apa? Atau, jika itu adalah gracilaria atau cottonii, apakah tidak terjadi oversupply?”.

Lebih lanjut, dia pun menampik potensi oversupply rumput laut dalam negeri. Sebab harga rumput laut, contohnya cottonii di tingkat pengepul yang menjual ke industri, saat ini mencapai Rp.28.000 per kg dari tadinya hanya sebesar Rp.13.500 per kg pada 2017. Pada saat yang sama, utilitas pabrik-pabrik atau unit pengolah rumput laut (UPRL) saat ini masih jauh dari yang seharusnya. Pihaknya mencatat, utilitas pabrik pengolah rumput laut baru mencapai 45%, disebabkan kekurangan bahan baku.

Sementara itu, jika pemerintah berencana menggenjot produksi rumput laut agar bernilai tambah atau yang telah mengalami pemrosesan dengan menambah jumlah UPRL, akan dapat terjadi kelangkaan bahan baku.

Pungkasnya: “End user bahan karaginan  ini akan terus mengevaluasi substitusi produk calon pengganti karaginan karena menjadi tidak kompetitif. Pada saat itu, sudah terlambat jika baru mulai sadar akan kesalahan kebijakan, akibat dari diketemukannya kesalahan data produksi”. (Erick Arhadita)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *