JAKARTA – MARITIM : Proses konversi utang multi years bond (MYB) PT Tuban Petrochemical Industries (TubanPetro) menjadi saham tinggal satu langkah lagi. Yakni, ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) oleh Presiden Joko Widodo. Karena dengan PP tersebut akan menjadi titik tolak pengembangan TubanPetro sebagai basis industri petrokimia nasional yang terintegrasi.
Hal lain, sebenarnya kebijakan konversi ini telah masuk dalam Undang Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Di mana, semua kementerian sudah mendukung penuh, bahwa mulai saat ini Kementerian Keuangan memiliki 70% saham di TubanPetro. Sehingga pasca konversi tuntas, pemerintah akan memiliki 95,9% saham di TubanPetro.
Sekjen Kemenperin, Achmad Sigit Dwiwahjono, menjelaskan pihaknya optimis pengembangan TubanPetro akan berkontribusi bagi industri nasional. Salah satunya pasokan petrokimia bagi industri di dalam negeri bakal lebih terjamin.
“Karena itu, jika ingin membesarkan kemampuan dari sisi petrokimia, persoalan di TubanPetro harus diselesaikan terlebih dahulu. Yang mana, kebijakan pemerintah menyelesaikan utang MYB TubanPetro sebesar Rp3,3 triliun melalui konversi, sudah tepat. Sehingga akan memberi ruang kepada TubanPetro untuk mengembangkan bisnisnya,” kata Sigit, pada diskusi publik bertema “Optimalisasi Industri Petrokimia Nasional”, yang diselenggarakan Forum Wartawan Industri (Forwin), di Jakarta, Kamis (12/9).
Maka dari itu, menurutnya, langkah pengembangan TubanPetro harus didukung oleh semua pihak. Pasalnya ke depan, kapasitas produksi di anak usaha TubanPetro, khususnya PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) bisa lebih ditingkatkan lagi. Tidak sekadar yang selama ini hanya difungsikan sebagai pengolah BBM saja.
“Saya yakin, peran TubanPetro ke depan sangat besar mendukung industri, sekaligus dalam jangka panjang membantu menekan defisit necara perdagangan,” ujarnya, yang diwakili Direktur Industri Kimia Hulu Kemenperin, Fridy Juwono.
Ditambahkan, sebagai langkah pertama perlu dibuatkan masterplant integrated petrochemical cluster. Di mana, di TPPI dibangun aromatic centre dan olefin centre, yang saat ini baru terbangun aromatic plant yang menghasilkan benzene toluene dan xylene (BTX). Satu-satunya yang dimiliki Indonesia. Karena produk-produk tersebut masih diimpor. Sehingga bisa dijadikan substitusi impor untuk menghemat devisa.
“Jika pengembangan TubanPetro tidak diakselerasi, maka defisit akan terus berulang, yang akibatnya industri petrokimia hulu-hilir berkontribusi cukup signifikan terhadap defisit neraca perdagangan kita,” urainya.
Didukung semua kementerian
Sementara Dirjen Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu, Isa Rachmatarwata, menyampaikan bahwa pengembangan industri petrokimia nasional melalui TubanPetro mendapat dukungan penuh lintas kementerian.
Penyelesaian utang melalui konversi dimaksudkan untuk menuntaskan kendala-kendala yang menghambat TubanPetro. Terutama dari sisi struktur permodalan dan keuangan. Kebijakan konversi yang diambil dilakukan dengan transparan dan akuntabel. Langkah ini bertujuan untuk menyelamatkan piutang serta optimalisasi asset negara.
Kemudian Dirut PT TubanPetro, Sukriyanto, menambahkan sebagai kompensasi dari pelunasan utang sebesar Rp3,3 triliun, pemerintah akan menguasai 95,9% saham di TubanPetro. Sehingga pemerintah menjadi super majority. Rencana kepemilikan saham tersebut juga sudah disetujui oleh kementerian terkait.
“Jadi saat ini semua menteri dan ketua lembaga terkait sudah paraf dan bukti kebijakan konversi ini didukung lintas kementerian,” ucap Sukriyanto.
Pasca konversi tuntas, masih tersisa utang Rp800 miliar yang akan diangsur selama 10 tahun. Angsuran itu akan dilakukan sembari TubanPetro mengembangkan grup untuk mendukung industri petrokimia nasional. Sehingga, jika beroperasi maksimal, dalam jangka panjang akan membantu neraca perdagangan.
Pada kesempatan sama, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiyono, mengatakan penambahan saham pemerintah dari 70% menjadi 95,9% di TubanPetro semakin cepat selesai akan lebih baik. Karena, industri petrokimia merupakan tulang punggung kemajuan ekonomi negara setelah industri logam dan industri pangan.
Urgensi pengembangan industri petrokimia juga mendesak karena Indonesia pernah menjadi yang terbesar di ASEAN di periode 1985-1998 dari sisi kapasitas produksi. Namun, kondisi tersebut saat ini terbalik, di mana Indonesia menjadi negara tujuan impor dari negara ASEAN. Alasannya, karena tidak ada lagi investasi baru di sektor petrokimia.
“Untuk itu, negara harus hadir dalam penguatan struktur industri petrokimia, agar bisa kembali menjadi yang terbesar di ASEAN,” tegas Fajar.
Melalui penambahan kepemilikan saham pemerintah di TubanPetro, maka kilang TPPI bisa dioperasikan dengan optimal, sehingga bisa memberikan keuntungan yang lebih baik.
Saat ini, industri manufaktur dalam negeri membutuhkan lebih dari 2 juta ton bahan baku kimia aromatik. Selama ini Indonesia masih mengimpor bahan baku kimia aromatik karena tidak tersedia di dalam negeri. Kalau kilang TPPI produksi aromatik bisa subtitusi impor senilai US$2 miliar per tahun.
“Jadi, optimalisasi TubanPetro ini sangat ditunggu, karena pada akhirnya akan menyehatkan kondisi devisa negara,” jelasnya.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menilai proses konversi bisa lebih cepat lagi. Pemerintah pun tak perlu ragu. Karena itu, diharapkan proses PP segera dituntaskan dan pemerintah tidak ada lagi keragu-raguan.
Dia berpandangan, potensi TubanPetro harus segera dioptimalkan, utamanya untuk sektor petrokimia. Termasuk juga optimalisasi asset-asset lainnya, seperti kilang minyak modern yang dimiliki.
Karena itu, lanjut Fahmy, PP konversi sebagai basis hukum penambahan saham pemerintah di TubanPetro diharapkan bisa cepat tuntas. Dengan dimiliki pemerintah, maka akan lebih leluasa dalam mengembangkan bisnis dan operasional, karena sebagai pemilik mayoritas pemerintah tidak perlu banyak persetujuan untuk mengambil berbagai langkah strategis.
Sebagai catatan, langkah penyelesaian utang MYB dilakukan sehubungan dengan restrukturisasi utang perusahaan, di mana pada 27 Februari 2004 TubanPetro menerbitkan obligasi kepada Kemenkeu berupa MYB dengan nilai pokok Rp3,3 triliun. TubanPetro kemudian dinyatakan gagal bayar (default) pada 27 September 2012. MYB ini yang kemudian akan diselesaikan. (Muhammad Raya)