JAKARTA – MARITIM : Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), merupakan inisiatif dari Indonesia, yang dibentuk pada 2009. Terkait pengelolaan kebun sawit yang berkelanjutan. Realisasi kebun sawit yang tersertifikasi ISPO masih rendah, yakni hingga Maret 2019 sekitar 30% dari total luas kebun sawit Indonesia.
Rendahnya realisasi ISPO karena banyak kebun sawit perusahaan maupun rakyat yang terkena masalah legalitas lahan dan kebun. Ini menunjukkan rendahnya realisasi kebun sawit di Indonesia yang sudah tersertifikasi ISPO.
Karena itu, penyelesaian masalah legalitas pada kebun sawit menjadi agenda penting dan sangat dibutuhkan dalam rangka peningkatan realisasi ISPO. Langkah selanjutnya dalam pembangunan industri sawit nasional yang berkelanjutan, adalah penguatan ISPO melalui standarisasi SNI ISPO, sebagai pedoman sertifikasi dan klusterisasi ISPO berdasarkan negara tujuan dan kemampuan pelaku usaha.
Implikasinya, adalah citra positif sawit Indonesia yang lestari dan berkelanjutan serta makin berdaya saing di pasar dunia tidak menimbulkan kerugian bagi pelaku usaha.
Perkembangan luas areal kebun sawit yang tersertifikasi ISPO mengalami peningkatan setiap tahun. Pada 2015, luas areal kebun sawit yang tersertifikasi ISPO seluas 1,2 juta ha, meningkat jadi 4 juta ha pada 2018.
Jumlah sertifikasi ISPO per 25 Maret 2019, yang sudah diterbitkan sebanyak 502 terdiri dari 493 perusahaan, 5 koperasi swadaya dan 4 KUD plasma. Total areal kebun sawit yang tersertifikasi seluas 4,11 juta ha, dengan tanaman menghasilkan (TM) seluas 2,76 juta ha serta total produksi tandan buah segar (TBS) sebesar 52,2 juta ton/tahun dan total produksi CPO sebesar 11,57 juta ton/tahun.
Penyebab realisasi sertifikasi ISPO yang rendah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia, karena banyak kasus mengindikasikan kebun sawit milik perusahaan dan perkebun rakyat yang dianggap ilegal. Sebab berada pada kawasan atau tidak sesuai dengan perencanaan tata ruang dan wilayah.
Karena itu, penyelesaian masalah legalitas pada kebun sawit oleh Tim Kerja/Koordinasi Lintas Kementerian yang diamanatkan pada Inpres No 8 tahun 2018, menjadi solusi dan agenda penting dalam rangka percepatan sertifikasi ISPO dan pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan.
Untuk menyelesaikan masalah legalitas, pemerintah saat ini sudah mulai mengajukan rancangan perpres tentang ISPO. Pada Pasal 5 terdapat tiga bidang usaha yang wajib ISPO, yakni usaha budidaya, usaha terintegrasi kebun dengan pengolahan PKS dan usaha pengolahan PKS. Perpres tersebut juga tidak hanya mewajibkan ISPO kepada perusahaan, namun kebun sawit rakyat juga wajib tersertifikasi ISPO.
Rancangan perpres tersebut menuai kritik khususnya dari sisi pekebun sawit. Dengan berlakunya perpres tersebut maka PKS hanya akan menerima TBS rakyat yang bersertifikasi ISPO.
Hal ini tentu saja makin membebani pekebun rakyat yang memang sudah mengalami kesulitan menjual TBS dan semakin diperparah dengan syarat ISPO. Selain itu, mengingat banyak pekebun rakyat yang belum memiliki sertifikat lahan dan STDB, maka pemberlakuan sertifikasi ISPO bagi kebun sawit rakyat akan semakin sulit untuk dipenuhi.
Pemerintah lebih baik fokus untuk menyelesaikan masalah legalitas lahan dan kebun sawit perusahaan maupun pekebun rakyat. Dengan terselesaikan masalah legalitas sawit rakyat akan menyiapkan pekebun rakyat untuk mengikuti sertifikasi ISPO.
Dengan demikian, perbaikan tata kelola pada kebun sawit Indonesia milik perusahaan maupun rakyat dapat terlaksana, sekaligus dapat meningkatkan produktivitas dengan budidaya kebun sawit yang lebih sustain dan lestari.
Dasar hukum ISPO, adalah Permentan No 19 tahun 2011, yang kemudian seiring dengan perkembangan pelaksanaan ISPO kemudian ditetapkan Permentan No 11 tahun 2015 sebagai dasar hukum ISPO pada kebun sawit Indonesia.
Dalam Permentan No 11 tahun 2015 tersebut, sertifikasi ISPO berlaku secara wajib (mandatory) atau sukarela (voluntary). Sertifikasi ISPO yang bersifat wajib ditujukan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Pengujian tingkat pelaksanaan tata kelola perkebunan pada perusahaan perkebunan kelapa sawit dilakukan secara periodik melalui penilaian/sertifikasi seperti SMK 3, Klasifikasi Perkebunan, SNI, Sertifikasi ISO, Good Corporate Governance dan sertifikasi ISPO.
Sedangkan sertifikasi ISPO yang bersifat sukarela, adalah kebun sawit milik pekebun rakyat swadaya dan plasma maupun perusahaan perkebunan yang memproduksi minyak kelapa sawit untuk energi terbarukan. (Jum)