JAKARTA – MARITIM : Para pemangku kepentingan sektor industri hasil tembakau (IHT) Indonesia bersatu menyampaikan kekhawatiran makin kuatnya desakan LSM anti-tembakau memasukkan pedoman Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Salah satunya adalah melalui revisi PP No 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Revisi PP 109/2012 dinilai sebagai suatu agenda asing untuk mematikan IHT yang jadi tumpuan penghidupan bagi 6 juta lebih masyarakat Indonesia. Yang mana pada 2018, industri ini berkontribusi Rp200 triliun lebih ke pendapatan negara, di antaranya dari cukai IHT.
Sebelumnya, beredar pemberitaan Kemenkes mengusulkan rancangan revisi PP 109 memperluas ukuran gambar peringatan kesehatan dari 40% jadi 90%, pelarangan bahan tambahan dan melarang total promosi dan iklan di berbagai media. Dengan dalih, adanya peningkatan prevalensi perokok anak. Hal itu dinilai sebagai akal-akalan kelompok anti tembakau dalam memaksakan pedoman-pedoman yang ada dalam FCTC.
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Liga Tembakau, Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) dan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) dengan tegas menolak gagasan revisi PP 109 itu.
“Kami sepakat PP 109 yang berlaku saat ini sudah sangat ketat sebagai payung hukum bagi IHT nasional dan seluruh mata rantai yang terlibat. Termasuk petani, pekerja dan pabrikan. Kami meminta rencana revisi PP 109 yang digagas Kemenkes dihentikan. Karena keputusan mereka tidak melibatkan pembahasan dari seluruh pemangku kepentingan,” kata Ketua AMTI, Budidoyo, di Jakarta, Rabu (20/11).
Kemenkes dinilai tidak mempertimbangkan dampak dari usulan yang digagasnya bagi 6,1 juta tenaga kerja yang terlibat dalam industri asli Indonesia ini.
“Industri tembakau dari hulu ke hilirnya memberikan banyak lapangan pekerjaan dan banyak keluarga menggantungkan hidupnya dari industri ini. Ketika Kemenkes merevisi PP 109, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh 6,1 juta pekerja yang terlibat, tapi juga oleh anggota keluarga mereka. Atau kasarnya berdampak pada 20 juta jiwa lebih,” tambahnya.
Padahal, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Swiss, Maroko dan Argentina tidak meratifikasi FCTC, melainkan menerapkan peraturan negara masing-masing dalam mengatur IHT-nya. Indonesia pun telah memiliki peraturan pengendalian tembakaunya sendiri yaitu PP 109 yang telah mencakup pasal-pasal terkait perlindungan kesehatan masyarakat. Sekaligus perlindungan anak dari rokok. Bahkan, beberapa ketentuan dalam PP 109 sudah lebih ketat dibanding dengan FCTC.
Tekanan yang dialami pelaku IHT secara terus-menerus selama 5 tahun terakhir sangat mempengaruhi petani tembakau maupun cengkeh Indonesia.
“Sejak tahun 2015 hingga 2018 saja volume produksi terus turun. Ini tentunya berdampak langsung terhadap daya serap pabrikan atas hasil tani tembakau dari petani,” ujar Ketua APTI, Soeseno.
Ditambahkan, dengan adanya kampanye anti rokok, maka permintaan rokok turun jadi 6 miliar batang per tahun. Jadi kalau 1 batang rokok isinya 1 gram tembakau, berarti ada 6.000 ton tembakau kering yang terancam tidak terserap IHT.
Lantas, lanjut Soeseno, kalau 1 hektare lahan petani menghasilkan 1 ton tembakau kering maka ada 6.000 hektare lahan tembakau yang hilang tidak terserap. Artinya, tidak sedikit petani tembakau yang akan kehilangan mata pencaharian. Sementara sampai saat ini harga tembakau lebih tinggi dibanding harga komoditas lain di musim kemarau.
“Belum lama diumumkan kenaikan cukai 2020 yang sangat eksesif, sekarang ditambah lagi dengan revisi PP 109, ini menimbulkan kecemasan di kelompok petani cengkeh. Utamanya akan menekan serapan produksi cengkeh yang sangat bergantung pada industri rokok. Khususnya kretek,” tekan Sekjen APCI, Budiman.
Indonesia saat ini merupakan produsen cengkeh terbesar di dunia. Di dalam negeri cengkeh adalah bahan pokok selain tembakau dalam memproduksi rokok kretek.
Kemenkes harusnya mempertimbangkan suara akar rumput, masyarakat yang langsung terdampak atas inisiatif ini.
“Kemenkes sebaiknya mengevaluasi kembali apa yang jadi tujuan utama dari revisi ini dan mengkaji dampaknya terhadap semua lapisan masyarakat. Jangan hanya ikut agenda dan dorongan pihak asing yang mensyaratkan Kemenkes ikut rekomendasi FCTC. Agenda FCTC sudah sangat jelas mematikan industri rokok. Ini artinya bagi Indonesia sama saja dengan membunuh sumber nafkah 6,1 juta pekerja dan lebih dari 20 juta anggota keluarga mereka,” tegas Koordinator Komisi Liga Tembakau, Zulvan Kurniawan.
Tidak hanya dari sisi petani, Komite Nasional Pelestarian Kretek juga menyuarakan keresahan dan posisi yang sama terkait proses revisi PP 109 ini. Sebagaimana disampaikan oleh Muhamad Nur Azami bahwa saat ini banyak sekali persoalan yang dihadapi petani tembakau dan pengusaha Sigaret Kretek Mesin (SKT) utamanya terkait aturan.
“Mulai dari cukai, hingga penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan revisi PP 109. Pemerintah, khususnya Kemenkes sepertinya tidak memikirkan nasib kami dan ratusan ribu pekerja yang bergantung pada pabrikan rokok,” ujarnya.
Semestinya, tambahnya, para LSM anti rokok itu harus cukup kritis mempertanyakan motivasi organisasi asing mengucurkan dana jutaan dolar untuk menghancurkan mata pencaharian jutaan masyarakat Indonesia.
Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Kementan, Agus Wahyudi, mengaku khawatir jika pembahasan terus dilakukan tanpa melibatkan instansinya. Maka itu Kementan akan kesulitan menjalankan program peningkatan produksi tembakau nasional.
Tahun lalu jumlah produksi tembakau nasional mencapai 182.000 ton. Sementara kebutuhan tembakau nasional dari IHT mencapai 320.000 ton. Sehingga ada gap cukup besar hampir 140.000 ton yang ditutup melalui impor.
“Ini jadi tambahan defisit neraca perdagangan kita. Karena itu Kementan menjalankan program substitusi impor tembakau dengan mendorong produksi dalam negeri melalui kemitraan. Sehingga target produksi nasional bisa bertambah 100.000 ton. Jadi sebelum merevisi suatu kebijakan harus diperhatikan juga multiplier effect-nya kepada seluruh stakeholder terkait,” urainya.
Kasubdit Industri Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Mogadishu Djati Ertanto, mengakui tidak mudah bagi pemerintah untuk merevisi kebijakan yang berdampak bagi jutaan orang pekerja di IHT.
Data Kemenperin menyebutkan, saat ini jumlah pabrikan rokok yang beroperasi di Indonesia berjumlah 700-an, mulai dari pabrik skala kecil sampai industri besar yang mempekerjakan sekitar 700 ribuan tenaga kerja. Selain itu, jumlah petani tembakau yang memasok kebutuhan bahan baku IHT jumlahnya 500 ribu-600 ribuan orang, ditambah 1 jutaan lebih petani cengkeh.
“Belum lagi masyarakat yang berdagang rokok dan para pekerja di sektor ritel. Tentu tidak mudah merevisi kebijakan yang akan berdampak pada IHT nasional. Apalagi tahun lalu IHT menyumbang pendapatan negara dalam bentuk cukai sekitar Rp180 triliun dan pajaknya Rp190 triliunan. Jadi hampir 10% APBN kita itu didanai oleh IHT,” jelasnya. (Muhammad Raya)