ALI : Praktik Pungli di Pelabuhan Sudah Biasa

Rangkaian truk pengangkut petikemas melintasi kawasan pelabuhan
Rangkaian truk pengangkut petikemas melintasi kawasan pelabuhan

JAKARTA – MARITIM : Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), menyatakan bahwa praktik pungutan liar di pelbagai pelabuhan di Indonesia , termasuk Tanjung Priok, sudah menjadi hal yang biasa. Ketua Umum ALI Zaldi Ilham Masita menyatakan praktik pungutan liar (pungli) juga sudah jadi kebiasaan. Ujarnya, Selasa (17/12/2019) lalu: “Kalau tidak ada pungli malah aneh”.

Lebih lanjut, menurut Ilham Masdita, pemerintah sudah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Ujarnya: “Tetapi sayang sekali hasil satgas itu hanya terbatas pada besar wacana, dengan hasil yang kurang ada artinya “.

Masih menurut Ilham Masita, pelaku logistik tidak membayar langsung pungli karena sudah masuk dalam budget operasional. Bila pungli terjadi di truk, dia menyatakan hal itu masuk dalam uang jalan sopir. Tergasnya: “Jadi sebenarnya yang paling menderita ialah para sopir karena penghasilannya berkurang. Karenya kami sarankan agar biaya di pelabuhan harus dibuat transparan, mulai operator pelabuhan, truckingfreight forwarder dan shipping line.

Dikatakan pula, seluruh pihak di pelabuhan harus mampu mempublikasikan biaya-biaya resmi untuk seluruh bentuk proses di pelabuhan, baik ekspor, impor, dan domestik. Hal itu akan memudahkan pengguna jasa membandingkan biaya yang ditagihkan oleh usaha forwarder dengan biaya resmi. Ujarnya: “Karena banyak juga perusahaan yang mengambil keuntungan denga proses yang tidak jelas di pelabuhan untuk menaikkan biaya-biaya”.

Berdasarkan penelusuran di lapangan, tradisi pungutan liar masih dialami para supir truk logistik di pelabuhan saat ini. Tradisi koruptif ini nyaris tak berubah dengan di masa-masa sebelumnya. Jumlah perkiraan rerata hasil pengumpulan ‘uang kopi’ alias ‘salam tempel’, dari sopir kepada oknum di pelabuhan terhitung hanya di pelabuhan bongkar muat PT Jakarta International Container Terminal (JICT) diperkirakan bisa mencapai Rp25,17 miliar per tahun yang dihitung dari kutipan Rp12.000 per boks petikemas dengan jumlah mencapai 2,09 juta TEUs. ‘Uang kopi’ ini hanya dihitung khusus di bongkar muat JICT, belum termasuk Terminal Peti Kemas Koja, dan New Priok Container Terminal One.  (Team Liputan)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *