TANJUNG PERAK – MARITIM : Kalangan pengusaha logistik dan forwarder Jawa Timur menilai bisnis kepelabuhan dan maritim ke depan harus memiliki ekosistem yang lebih terstruktur dengan jelas dan juga terintegrasi dengan baik.
Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DPW Jatim, Hengky Pratoko mengatakan selain pengelola pelabuhan seperti Pelindo yang terus berbenah, pihak lain seperti Bea Cukai dan Balai Karantina juga perlu berbenah mengingat saat ini pengusaha masih kerap mengahadapi kendala dalam menggunakan jasa transportasi laut.
Ungkapnya di sela-sela Seminar Nasional Maritime Leadership Stiamak Surabaya, Rabu (18/12/2019): “Masalah kemaritiman negara kita harus jelas, ekosistemnya juga harus dibenahi dan diharap tiap peraturan itu sejalan dengan aplikasi saat di lapangan”.
Dikatakan, setiap customer memiliki keinginan untuk mendapat layanan yang efisien dan cepat serta mengedepankan servis, sehingga hal ini seharusnya dapat digali lebih banyak oleh instansi terkait seperti Bea Cukai, Karantina dan aparat pemerintah lainnya. Sebagai contoh, Bea Cukai masih memiliki waktu sampai 3 tahun untuk mengkoreksi barang yang telah keluar dari kepabean. Namun, yang terjadi, Bea Cukai melakukan pemeriksanaan kembali terhadap barang-barang yang biasanya sudah habis dikonsumsi selama 3 tahun tersebut.
“Konyolnya ada anggota kami yang diperiksa lagi dan itu harus melakukan tambah bayar, padahal sudah 3 tahun barang habis tidak ada jejak, tetapi mereka memanggil dan memeriksa. Ini kan tidak efisien, dan tidak ada garansi permasalahan hukum”.
Selain itu, lanjutnya, dalam ekosistem maritim juga kerap terjadi over lapping antar aparat sendiri atau government officer sendiri. Sebagai contoh, masalah penangkapan kapal MV Seaspan Fraser yang mengangkut petikemas berisi komoditas ekspor dari Surabaya tujuan Singapura. Penangkapan dilakukan oleh TNI AL saat kapal berjalan, hingga akhirnya barang tersebut ditahan selama 30 hari di Batam dengan alasan masalah keamanan, padahal dokumen ekspor telah dilengkapi sehingga kapal bisa berangkat.
“Akhirnya barang ekspor ini mengalami keterlambatan sampai 30 hari. Kalau itu barang untuk momen Natal misalnya, pasti di negara tujuan sudah tidak diperlukan lagi. Nah kasus seperti ini menjadi tanggung jawab siapa untuk diperairan karena ada TNI AL, ada polisi, ada Karantina,” ujar Ketua DPW ALFI Jatim.
Untuk itu, lanjut Hengky, pengusaha logistik dan forwader maupun pengusaha pelayaran berharap pemerintah memiliki satu badan pengawasan di laut atau single body agar tidak over lapping antar aparat. Pungkasnya: “Terutama agar tidak menghambat kinerja ekspor, karena kalau itu terjadi, dikhawatirkan berdampak pada penurunan ekspor karena buyer di luar negeri kecewa dan enggan untuk order barang lagi dari Indonesia”. (Ayu/Sub/Maritim)