JAKARTA – MARITIM : Pemerintah dalam waktu dekat ini akan segera mengatur dan membenahi kembali tata niaga karpet. Sehingga penguasaan karpet dalam negeri menjadi naik dan ekspornya juga lebih meningkat.
Pasalnya, industri karpet nasional saat ini kondisinya sangat memprihatinkan, yakni terdesak oleh produk impor asal China. Yang mana pemicunya adalah dampak dari tata niaga karpet yang semakin semrawut dan hanya mementingkan pihak importir.
“Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Makanya saya ke depan akan mulai membenahi kembali tata niaga karpet ini. Dengan tujuan industri karpet dalam negeri membaik dan tumbuh serta di sisi lain ekspornya juga lebih meningkat,” kata Direktur Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki Kemenperin, Elis Masitoh, kepada pers di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, saat ini karpet-karpet yang ada di berbagai bandara dan hotel adalah karpet impor asal China dan jarang yang produk dalam negeri. “Ini potensinya sangat besar dan sayang kalau tidak diisi oleh karpet kita. Padahal, impor karpet dari China setiap tahunnya mencapai hampir 100%. Makanya untuk memperbaiki kita sedang mengatur kembali tata niaganya,” ungkapnya.
Dijelaskan, terdesaknya produk karpet buatan dalam negeri sebenarnya sudah mulai terasa sejak 2017, yakni ketika karpet impor dari China membanjiri pasar Indonesia yang dijual dengan harga murah di Pasar Gembrong, Jakarta Timur. Peningkatan penjualan karpet China tersebut terus berlanjut hingga 2019 lalu.
Yang mana sebelumnya para pedagang berjualan karpet buatan Indonesia, tapi sekarang tidak lagi dan sudah digantikan dengan karpet asal China, dengan harga sangat murah jika dibandingkan produk buatan dalam negeri.
Ditanya wartawan soal murahnya harga karpet asal China tersebut, Elis menjawab, karena berbagai faktor. Di antaranya harga gas dan bahan baku yang murah. Hal lain, karpet jadi dari China ditetapkan bea masuknya nol persen, bahan baku chipsnya dikenakan bea masuk 10% dan benang terkena bea masuk 5%.
“Terus gemana coba. Bagaimana kita mau bersaing dengan China. Ini sudah injury. Kita tengah melakukan langkah safeguard. Bahkan satu pabrik karpet terbesar di Indonesia sudah tidak produksi, mesinnya idle dan karyawannya sudah dirumahkan sejak 2019 lalu. Karena pangsa pasar dalam negeri kita sudah diambil China,” urai Elis.
Dicontohkan, pabrik tersebut telah mem-PHK 300 karyawannya, 2 line produksi idle dan bahan baku menumpuk karena tidak bisa di proses. Makanya mereka minta perlindungan kepada pemerintah untuk dijaga pasarnya.
“Penyebab dari semua ini sebenarnya berpangkal dari disharmonis tarif. Sehingga pemerintah waktu itu mengeluarkan BMDTP. Tapi kabarnya tahun depan fasilitas ini akan dihapus lagi oleh pemerintah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jadinya industri karpet ini ke depan. Gemana coba,” tanyanya.
Pada kesempatan sama, Elis menerangkan, salah satu negara di Uni Eropa yang cukup ternama berencana memindahkan industri karpetnya ke Indonesia. Persisnya ke Bandung, Jawa Barat.
“Mereka mau menjadikan Indonesia sebagai basis industri karpet kelas dunia dan pusat ekspor karpet terbesar. Mengingat pangsa pasar karpet kita cukup luas karena konsumsinya sejalan dengan pertumbuhan properti. Pembangunan dan renovasi bandara, hotel, restoran, kantor-kantor dan berbagai gedung yang memerlukan karpet lantai,” ucap Elis.
Saat ini, karpet impor asal China menguasai 60% pangsa pasar di dalam negeri disusul Turki dan karpet dari China banyak digunakan di berbagai bandara di Indonesia. (Muhammad Raya)