JAKARTA – MARITIM : Mengejar agenda pembangunan dan memperkuat ketahanan ekonomi, untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan berencana menaikkan cukai rokok. Peningkatan cukai rokok ditempuh, guna mengejar target pembangunan dari sisi fiskal maupun peningkatan daya saing manusia di bidang kesehatan.
Namun, untuk memperoleh hasil yang maksimal, menurut B Bawono Kristiaji, Partner, Tax Research & Training Service Danny Darussalam Tax Center (DDTC), kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) tidak mengurangi konsumen, dari satu tier ke tier yang lain. Maksudnya, penentuan cukai yang bervariasi untuk CHT sesuai tier, akan menentukan nilai jual eceran di pasar. Ini akan mempengaruhi optimalisasi, penerimaan pajak cukai tembakau.
Menyinggung tentang PMK dari 146/2017, 156/2018 dan 152/2019, menurut Bawono, dalam webinar DDTC bertajuk “Kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang Berkepastian dan Berimbang”, dalam rangka menyambut HUT DDTC ke-13, Selasa (21/7) melalui Zoom Online Meeting, polanya tidak menentu. Ini harus diperjelas dan dipertegas untuk menjadi blueprint simplikssi dan area yang relevan, berkepastian, berimbang dan terarah.
Dalam waktu yang sama Denny Vissaro, S.E., M.S.E., M.A, Research Coordinator DDTC Fiskal Research mengakui, Pandemi Covid-19 yang awalnya merupakan krisis di sektor kesehatan per akhir tahun 2019 mulai menunjukkan ancaman untuk pelemahan sektor-sektor ekonomi pada triwulan II tahun 2020.
Menurut Denny, imbas pelemahan ekonomi yang semakin besar ini juga berdampak pada sektor pengolahan tembakau atau yang dikenal sebagai Industri Hasil Tembakau (IHT). Salah satu kebijakan di IHT, yang paling menimbulkan banyak polemik di lapangan ialah Cukai Hasil Tembakau (CHT). Tidak heran, sebab kebijakan CHT di Indonesia sendiri memiliki banyak tujuan yang sering kali tidak sejalan. Sebut saja optimalisasi penerimaan negara, pengendalian konsumsi tembakau guna menyokong sektor kesehatan, dan mewujudkan kesinambungan bisnis dan ketenagakerjaan sebagai beberapa di antaranya.
Di saat tekanan perekonomian nasional karena adanya potensi pelebaran defisit semakin meningkat
saat pandemi, tekanan dari sisi pelaku bisnis di sektor IHT sendiri juga tentunya tak kalah signifikan.
Di sisi lain, menurut Denny, penerimaan negara sendiri masih sangat bergantung pada CHT. Melansir data LKPP dan Kementerian Keuangan, kontribusi CHT terhadap penerimaan perpajakan pada 2018 dan 2019 mencapai 10,07 persen dan 10,67 persen. Padahal pada satu dekade yang lalu, kontribusinya hanya berkisar 8 persen dari total penerimaan perpajakan. Tidak luput pula, masih terdapat sekitar 5 juta orang yang menggantungkan hidupnya di IHT pada 2018 (Kementerian Perindustrian, 2019). Oleh karena itu, pelemahan pada sektor ini tentunya juga akan berdampak luas bagi kondisi perekonomian negara.
Selain dikarenakan adanya pelemahan ekonomi, lanjutnya, juga tekanan terhadap sektor IHT lainnya yang tidak terlepas dari tujuan kebijakan CHT lainnya, yakni untuk mengendalikan konsumsi rokok. Lebih-lebih, produk tembakau semacam rokok sangat berkaitan pula dengan risiko kesehatan pernafasan sebagaimana halnya Covid-19.
Namun tampaknya, relaksasi penerimaan negara dari sektor ini masih sangat sulit dilakukan mengingat CHT sendiri masih menjadi “tulang punggung” setidaknya dalam konteks penerimaan perpajakan. “Meskipun rencana ekstensifikasi cukai telah dicantumkan dalam omnibus law perpajakan, produk hukum tersebut belum menemui kata sepakat hingga saat ini sehingga CHT masih harus dioptimalkan kembali,” ujarnya seraya menambahkan, untuk menjadi sumber penerimaan cukai andalan pada tahun 2020 dan mungkin pula beberapa tahun ke depan.
Dikatakan, dengan berbagai tekanan pada perekonomian tahun ini serta untuk mencapai target tujuan CHT yang beragam sebagaimana disebutkan di atas, DDTC Fiscal Research kemudian merasa perlu untuk mengamati beberapa permasalahan mendasar yang masih dapat dibenahi untuk memperbaiki kinerja IHT Indonesia saat ini dari sisi perpajakannya, baik yang turut mempertimbangkan sisi perilaku
produsen maupun konsumen.
Beberapa di antaranya, struktur tarif dan produk hasil tembakau yang bersifat sangat kompleks. Sistem strata tarif CHT di Indonesia merupakan salah satu yang paling rumit di dunia dengan sistem multi-tier berdasarkan produk tembakau, jumlah produksi, dan HJE per unit (World Bank, 2018).
Juga kenaikan tarif CHT dan HJE yang tidak menentu, baik antargolongan maupun antarjenis hasil tembakau. Penting untuk diketahui bahwa penetapan tarif CHT dan HJE yang tidak konsisten dapat menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas para pelaku pasar, termasuk dalam berproduksi dan berinovasi.
Ketiga, adanya diskrepansi antara harga produk tembakau yang beredar di pasaran (Harga Transaksi Pasar/HTP) yang tidak sesuai dengan harga yang didaftarkan atau tertera pada pita cukai di kemasan (Harga Jual Eceran/HJE).
Akibatnya, predatory pricing dan perang harga antarpabrikan sulit untuk dihindari sehingga fungsi cukai sebagai pengendali konsumsi rokok menjadi sulit diterapkan. (Rabiatun)