Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mendesak pemerintah segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) sebagai implementasi UU No.15/2016 tentang Ratifikasi Konvensi Pekerja Maritim atau Maritime Labour Convention (MLC) yang telah disahkan DPR pada September 2016.
“Juklak dan juknis ini sangat diperlukan untuk mengimplementasikan dan mematuhi semua ketentuan yang tercantum dalam MLC, sehingga kapal-kapal Indonesia tidak terkena sanksi dalam pelayaran di luar negeri karena tidak melaksanakan ketentuan MLC,” kata Presiden KPI Capt. Hasudungan Tambunan di Jakarta, Selasa (24/4).
Dikatakan, dalam menerapkan konvensi yang ditetapkan ILO (International Labour Organization) tahun 2006 itu, pemerintah harus lebih fokus memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan yang layak bagi pelaut yang bekerja di kapal-kapal asing maupun hak-hak normatif bagi pelaut yang bekerja kapal-kapal berbendera Indonesia di pelayaran domestik maupun internasional.
“Aturan perekrutan dan penempatan pelaut sudah diatur secara jelas dan rinci dalam MLC dan telah pula diterapkan oleh perusahaan asing yang mempekerjakan mereka. Jadi, juklak dan juknis UU 15/2016 bukan untuk pelaut yang bekerja di luar negeri, tapi khusus untuk pelaut yang bekerja di kapal-kapal merah putih,” tegasnya.
Menurut Capt. Hasudungan, saat ini sudah banyak ketentuan nasional yang merujuk pada MLC. Misalnya, Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No.84/2013 tentang perekrutan dan penempatan awak kapal di dalam dan luar negeri. Aturan ini jangan diubah lagi, karena sudah baku dalam ketentuan internasional, justru seharusnya PM No. 84/2013 tersebut ditingkatkan statusnya menjadi Peraturan Pemerintah (PP), sehingga tidak bersifat sektoral.
“Kementerian Ketenagakerjaan jangan egois dan arogan dengan membuat aturan baru yang justru bertentangan, atau bahkan bertabrakan dengan aturan nasional maupun internasional yang sudah ada,” tegasnya.
Dalam meratifikasi MLC, Hasudungan menyebutkan ada 13 jenis perlindungan dan kesejahteraan bagi pelaut.Tapi MLC mensyaratkan suatu negara minimal wajib melaksanakan 3 jenis perlindungan untuk pelaut.
Menurut dia, pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa semua perusahaan pelayaran nasional secara patuh melaksanakan tiga jenis perlindungan bagi pelaut, yaitu terkait kesehatan, kecelakaan dan asuransi. Ketiganya sudah diatur dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan hari tua.
“KPI sudah berkali-kali meminta agar setelah diratifikasi maka MLC harus menjadi lex specialis (aturan khusus) hubungan industrial bagi pelaut Indonesia yang bekerja dalam pelayaran domestik maupun internasional. Dengan demikian, tata aturan hubungan industrial pelaut hanya bersumber dari satu rujukan hukum yang pasti. Jangan seperti yang terjadi selama ini, adanya berbagai produk hukum malah mempersulit pelaut untuk mendapatkan hak-hak dasar perlindungan dan kesejahteraannya,” ujarnya.
Ia membenarkan bahwa 3 kementerian dan 1 direktorat jenderal, yakni Kementerian Ketenagakerjaan sebagai leading sector, Kementerian Perhubungan, Perindustrian, serta Ditjen Imigrasi telah bertemu untuk mulai menyusun juklak/juknis MLC. Namun ia juga meminta agar para stakeholders terkait turut diundang untuk didengar pendapatnya.
Jangan sampai suatu aturan untuk kepentingan publik dibuat hanya oleh satu pihak (pemerintah) tanpa melibatkan unsur tripartit lainnya. Ia mengingatkan bahwa MLC sebagai produk ILO juga dibuat melalui konsultasi tripartit internasional yang melibatkan unsur pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja.
Hasudungan juga mengingatkan bahwa UU 15/2016 memerintahkan juklak dan juknis harus diterbitkan paling lambat setahun setelah diundangkan dalam lembaran negara.
Selain itu, Hasudungan menambahkan pemerintah perlu segera mendorong dan memfasilitasi pertemuan tripartit sektoral nasional, terdiri dari unsur serikat pekerja pelaut (KPI), pengusaha pelayaran (INSA), dan pemerintah (Kemnaker dan Perhubungan) untuk membahas serta menyepakati standar upah sektoral bagipelaut.
“KPI sudah beberapa kali mengajukan rancangan Upah Sektoral Pelaut, baik ke Kemenaker maupun Kemenhub, tapi tak pernah ditanggapi,” sambungnya.
Terkena sanksi
Ketua Federasi Pekerja Transport Internasional atauInternational Tranposrt Worker’s Federation (ITF) Asia Pasifik, Hanafi Rustandi mengingatkan, banyak kapal Indonesia terkena sanksi oleh PSC (Port State Controle) di luar negeri. Bahkan ada yang ditahan, karena tidak melaksanakan ketentuan MLC yang telah diberlakukan di seluruh dunia sejak Agustus 2013.
Akibatnya, perusahaan pelayaran mengalami kerugian karena kapal terkenademorage (harus bayar labuh dan tambat tambahan di pelabuhan asing). Kapal baru dibebaskan setelah memenuhi persyaratan MLC.
“Kalau ini dibiarkan berlanjut, kapal Indonesia akan takut berlayar ke luar negeri. Sebaliknya, kapal-kapal asing akan kembali mendominasi mengangkut komoditas ekspor/impor kita. Ini akan sangat merugikan perekonomian Indonesia,” tegasnya.
Hanafi menambahkan, juklak/juknis MLC yang dibuat pemerintah Indonesia diperuntukkan bagi pelaut yang bekerja di kapal-kapal Indonesia. Sedangkan pelaut yang bekerja di kapal-kapal asing wajib mengikuti regulasi nasional dari negara bendera kapal dimana mereka bekerja.
“Jadi semua pihak harusnya sadar betul bahwa konsekuensi suatu negara meratifikasi MLC adalah kepatuhan negara tersebut untuk mengimplementasikan semua ketentuan MLC di armada nasionalnya,” tegasnya.
Hanafi juga mengingatkan Kemenaker agar tidak secara sembrono mengambil peran Port State Control dengan menunjuk Labour Inspector secara sepihak. Karena, seorang Labour Inspector harus mengerti betul situasi dan kondisi kerja (pengawakan) di kapal yang terkait erat dengan kelaikan kapal serta keselamatan pelayaran.
“ITF dan KPI mendukung pemerintah melakukan dialog dengan stakeholder terkait industri pelayaran untuk membuat regulasi nasional dalam pengimpelementasian MLC guna menciptakan industrial peace,” sambungnya.**Purwanto.