JAKARTA – MARITIM : Pemulihan perekonomian nasional di masa pendemi covid-19, memerlukan konsentrasi khusus. Karena saling keterkaitan, antara pemerintah dan para pelaku ekonomi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator disektor keuangan, punya peranan penting, mengingat pengembangan sektor ekonomi berkaitan erat dengan jasa keuangan, seperti perbankan dan Perusahaan Pembiayaan.
Merealisasikan langkah untuk memberikan keseimbangan perekonomian agar tetap stabil dimasa pandemi covid-19, berbagai langkah sudah dilakukan oleh OJK. Restrukrisasi, menjadi satu dari sekian kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) , untuk menormalkan perekonomian nasional, yang terpuruk akibat pandemi covid-19. Seperti diketahui, OJK telah melakukan restrukrisasi dijasa keuangan bidang perbankan. Bahkan diakhir Oktober 2020 lalu, OJK memperpanjang restrukrisasi, hingga Maret 2022.
Alasannya, kata Ketua Komisioner OJK Wimboh Santoso, ini sebagai langkah antisipasi menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukrisasi. Perpanjangan kebijakan akan menekankan penerapan manajemen risiko bank yang lebih memadai, mencakup penilaian kemampuan bertahan dan prospek usaha debitur oleh bank, serta penilaian kecukupan CKPN.
Melalui langkah restrukrisasi, OJK optimis, ratio kredit macet (non performing loan atau NPL) tidak menembus angka 5 persen, meski kebijakan perpanjangan restrukturisasi kredit. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso dalam konferensi pers Perkembangan Sektor Jasa Keuangan, Senin (2/11), meskipun berpotensi terkerek naik, kenaikan NPL akan sangat pelan. Ini terlihat dalam tiga bulan ini, ratio kredit macet mengalami penurunan, yang per September 2020 NPL berada di level 3,15 persen, turun dari 3,22 persen di Agustus 2020. “Meski begitu, perbankan tetap hati-hati dengan memupuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) untuk meminilisir kenaikan kredit macet bila debitur tidak mampu menepati janjinya,”harap Wimboh, seraya menambahkan bank tetap harus memonitor dan jeli melihatnya. Manage betul kenaikan NPL ini. bank akan objektif dalam membentuk cadangan bila diperlukan.
Wimboh menilai, perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit hingga 31 Maret 2022 bermanfaat baik untuk bank dan debitur. Harusnya dengan perpanjangan, bank bisa bersiap-siap memperkuat CPKN, di samping debiturnya memperbaiki cashflow.
Dengan begitu, POJK 11/2020 mampu menahan agar balance sheet sektor keuangan dan bank tidak terganggu dengan adanya debitur gagal bayar akibat Covid-19
Sementara Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana dalam Konferensi Pers OJK dengan tema “Perkembangan Kebijakan dan Kondisi Terkini Sektor Jasa Keuangan, Senin (2/11), mengatakan, regulator telah menyisipkan tata kelola manajemen risiko dalam POJK 11/2020 yang diperpanjang.Indikator tersebut membuat bank memiliki kapasitas perhitungan kapan harus menyiapkan pencadangan.
Restrukrisasi Multifinance
Melangkah kekebijaksanaan selanjutnya, OJK kembali membuka opsi baru dengan menerbitkan aturan mengenai restrukrisasi perusahaan pembiayaan (PP), yang terdampak pandemi covid-19.Karena OJK melihat ada kesamaan dikedua layanan jasa keuangan ini. Maka akan diterbitkan (aturan) yang sama, di samping beberapa hal lain nanti, apakah sekaligus dengan revisi POJK (POJK 11 Tahun 2020) atau dengan pengumuman lebih lanjut.
Aturan yang akan diterbitkan itu, karena OJK menilai, perusahaan pembiayaan perlu mendapat dukungan dari pihak kreditur untuk restrukturisasi pinjaman yang telah di terima. Ini guna mendukung, dan menjaga tingkat likuiditas perusahaan akibat adanya pemberian restrukturisasi kepada debitur atau nasabah.
Data OJK menurut Kepala Riswinandi, dalam acara yang diselenggarakan OJK secara virtual,hingga akhir Juli 2020, terdapat 26 Perusahaan Pembiayaan telah melakukan restrukturisasi pinjaman kepada kreditur. Dengan adanya restrukturisasi diharapkan, perusahaan dapat tetap bertahan di tengah kondisi pandemi ini. Hingga Agustus 2020, bunga dan kredit mencapai Rp 176,33 triliun. Realisasi restrukturisasi ini berasal dari 4,5 juta jumlah kontrak yang disetujui hingga 26 Agustus 2020. Dan sesuai catatan, jumlah kontrak yang masuk dalam proses mencapai 5,1 juta dari 192 perusahaan. Jumlah realisasi itu meningkat jika dibandingkan realisasi per 19 Agustus 2020 yang mencapai Rp 162,34 triliun dengan jumlah kontrak mencapai 4,34 juta.
Menurut Riswinandi, aturan yang memberikan keringanan untuk perusahaan pembiayaan itu, diperlukan agar perusahaan bisa terus melanjutkan usahanya, sama seperti yang berlaku pada perbankan. Namun sebagai regulator OJK pun, perlu berhati-hati menentukan instrumen yang dilapai inruk memberikan kesempatan dan kebijakan yang akomodatif kepada perusahaan pembiayaan.
Menjawab pertanyaan Riswinandi mengatakan, dalam hal kehati-hatian sama dengan yang diterapkan diperbankan. “Kita perlu berhati-hati instrumen mana yang dipakai untuk kesempatan menerbitkan fund raising di luar sistem perbankan. Jadi ini yang kita pelajari,” papar Riswinandi, seraya menambahkan, industri multifinance terus memproses restrukturisasi pembiayaan terdampak Covid-19, yang hingga Agustus 2020 OJK mencatat terdapat pengajuan restrukturisasi sebanyak 4,82 juta kontrak dengan total oustanding mencapai Rp 150,43 triliun dengan bunga senilai Rp 38,03 triliun.
Pengajuan restrukrisasi debitur terdampak covid-19 kepada perusahaan pembiayaan sudah disetujui OJK hingga 2021.Bahkan, OJK membuka peluang, untuk memberikan perpanjangan penundaan pembayaran cicilan kredit lebih dari itu.
Tentunya untuk restrukrisasi ini, pihak perusahaan pembiayaan dan perbankan akan menilai historis pembayaran pokok dan bunga, khususnya untuk cicilan kendaraan bermotor, untuk memberikan keringanan berdasarkan profile debiturnya. Ini dimaksudkan agar, diantara nasabah dengan pihak perusahaan pembiayaan, bisa sama-sama dalam menata keuangan untuk tetap stabil di masa pandemi. (Rabiatun)